Rabu, 18 Juni 2014

Surat Cinta untuk Singapura

Dear Singapura,

Apakah kamu pernah mendengar pepatah yang mengatakan bahwa rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau? Aku amini itu. Tempatku indah, namun apa yang kamu miliki pun menarik.

Aku masih ingat ketika aku mengunjungimu pertama kali. Aku memandangmu takjub. Bak seorang model, kamu rapi, terpoles, berhias dengan perhiasan dan asesoris yang menawan dan cantik, kamu memesona.
bagus ya?


Kata orang, kamu dingin. Sepertinya aku agak menyetujui pendapat mereka. Di saat aku bertanya ke salah satu/dua orang lokalmu, aku merasa tidak diacuhkan. Mungkin mereka terbiasa dengan kehidupan yang terlalu mandiri, ― hmmm, lebih tepatnya individualis. Jangan kawatir, ada negasi di baliknya, karena di dalam dinginmu, aku bisa menemukan kehangatan dan keramahan.

Kamu tahu, saat aku keluar dari bandara setelah pesawat yang aku naiki landing dan mencoba mencari tahu untuk menuju hostel di malam hari, aku menatap bingung pada rute MRTmu. Betapa beruntung karena aku bertemu seseorang dari Indonesia bernama David yang sudah bertahun-tahun hidup bersamamu. Dia mau membantu, menunjukkan dan menemaniku sampai ke hostel, sembari menyiratkan pesan bahwa kamu bukanlah tempat yang menakutkan bagi seseorang untuk berjalan di jam yang larut.

Terlebih, ketika aku berjalan menelusuri tiap sudutmu sendirian, kamu membuatku bertemu dan berteman ―hingga sekarang― dengan turis Italia bernama Simone yang ramah dan begitu menyukai kopi. Dia lebih dulu mengenalmu daripada aku. Pun dia bersedia menjadi guide dadakan untukku agar mengenalmu lebih.
words from Simone

Aku jatuh cinta terhadapmu karena kamu menghargai dan memberi tempat yang nyaman untuk pejalan kaki sepertiku. Aku menemui banyak sekali trotoar yang sangat teduh. Aku sangat menikmati waktu duduk di bangku tamanmu yang hijau. Tidak seperti tempatku yang dengan sedikit taman dan trotoar dengan banyaknya perampas hak-hak pejalan kaki dan membiarkan kendaraan bermotor berkuasa.
trotoar dan taman

Bagaikan langit dan bumi. Kamu punya banyak gedung modern, canggih, menjulang tinggi, dan cantik nan unik yang tidak bisa kujumpai di tempatku. Aku tampak kampungan saat mencoba berpose untuk berfoto dengan patung singa Merlion yang menjadi iconmu. Banyak orang melihatku yang penuh kehebohan. Memang, tak serupa tempatku yang banyak rumah biasa dan sawah atau kebun. Bahkan, Jakarta yang di sini dibilang metropolitan pun tidak bisa menyamaimu. Namun aku tak bisa memilih untuk lebih menyukai salah satu, karena semua memiliki pesona tersendiri.
behind the scene-nya sampe disangka orang gendeng

Pun, kamu sangat terampil merawat diri. Kamu pandai menjaga apa yang kamu miliki. Segala yang berhubungan dengan sejarah dan budaya membuatmu tetap memiliki jati diri sebagai semacam melting pot. Aku iri padamu. Di sini, sebenarnya aku punya jauh lebih banyak daripada yang kamu punya, tetapi, ah, sudahlah.

Dalam gelapnya malam, kamu tidak lelap tertidur, justru semakin gempita, cantik, dan liar. Aku memang tidak dapat melihat taburan bintang, namun aku bisa melihat bagaimana kamu bersinar dengan pertunjukkan tarian lampu yang berwarna-warni di tempat terbuka. Aku yang tak pernah melihat hal seperti itu, berdecak kagum.
MBS di malam hari

Tapi, tahukah kamu bahwa aku sedikit keberatan dengan tingginya price tag untuk banyak hal ditempatmu. Tapi tidaklah mengapa. Mungkin itu membuatmu eksklusif dan membuat orang-orang dari tempatku merasa memiliki prestis tersendiri ketika sudah mengunjungimu.

Ah, kini sudah dua tahun sejak pertama kali aku melihatmu. Aku tidak tahu apakah ada lagi yang berubah darimu. Aku yakin kamu bertambah menarik. Seandainya aku mempunyai kesempatan, aku pasti akan menemuimu lagi. 


*Mungkin kamu sedang membaca suratku ini diiringi suara Ari Lasso yang menyanyikan Kangen-nya* #yakaliajasih

Minggu, 08 Juni 2014

Menembus Kabut, Menuju Stumbu

Saya bukanlah morning person. Tapi jika dijanjikan sebuah sunrise yang memukau, pendirian saya akan mudah goyah. Dan kali ini adalah bukit Punthuk Setumbu, Magelang. Siapa kuat hati menolak?

Pukul 4, sebelum azan subuh, saya dan teman-teman harus melawan gaya gravitasi yang ditimbulkan oleh kasur tipis yang kami tiduri selama 2 jam. Segera saja kami membasuh muka dan menggosok gigi untuk membangunkan indera-indera kami. Tak ada waktu untuk bongkar muatan perut, walaupun terasa slemat-slemet, kata orang Jawa.

Kami berangkat dari rumah kawan di desa Tanjung, Magelang, menembus jalanan kecil nan mulus. Kendaraan terus melaju menembus gelap dan kabut nan pekat. Kawan saya menunjukkan landmark di kanan kiri jalan, tapi sama sekali tak terlihat karena jarak pandang hanya sekitar 5 meter saja. “Pokoknya saya terima sampai di tempat parkir saja, Mas,” seru saya.

Di parkiran yang tidak terlalu luas, sudah terdapat 2 elf panjang dan beberapa mobil. Ternyata tidak sesepi yang saya duga, justru sudah terkesan touristy.

Sekitar 500 meter trekking ringan,akhirnya kami sampai di puncak bukit. Berhubung postur tubuh saya yang agak mini tapi juga agak lebar, saya harus berdiri di atas bale-bale bambu doraemon *itu baling-baling* agar pemandangan tidak terbingkai oleh kepala-kepala bule.

Dan pagi itu, Tuhan Yang Maha Baik memperbolehkan kami melihat keagunganNya melalui kemegahan sang matahari yang diam-diam mengintip di balik punggung Merbabu dan Merapi. Borobudur yang semula terselimut kabut, saat itu pelan-pelan tersingkap dan mulai terlihat jelas julangan puncak stupanya. Saat menoleh ke arah yang berlawanan, terlihat perbukitan karst Menoreh. Saya terpukau sambil menahan hasrat kebelet. (Sebenarnya ada satu toilet di lokasi, namun antreannya buat makin nggak nahan).


Merbabu - mentari - Merapi
Majestic Borobudur
hasil manjat bale-bale
the pros

Ada sebuah benda yang membuat saya bertanya-tanya di bukit ini. Adalah sebuah potongan batang pohon yang setinggi kurang lebih 1 meter dan di atasnya terdapat papan melintang. Benda ini seperti tempat untuk meletakkan sesuatu.

Pertanyaan saya itupun terjawab saat matahari merangkak naik. Tersangkanya di bawah ini. Hehe
Konon adalah Bp. Sulaiman

Tidak ada maksud apa-apa. Waktu saya ketahui bahwa si kakek duduk membawa sabit sambil menghisap rokok, saya yakin, tempat itu adalah spot si kakek untuk berpose untuk berfoto. Kakek ini yang sempat saya cari-cari, karena selalu masuk di blog bersama Punthuk Stumbu. Ternyata punya tempat spesial untuk berfoto. Bagaimana tidak dia dijadikan objek fotografi, lha wong wajah, pose dan postur tubuhnya sangat fotojenik. Sebenarnya saya jual mahal untuk tidak memotret si kakek, tapi kawan saya terus menyuruh saya membuktikan bahwa saya bisa memotret. *ya bisalah, tinggal pencet tonbol shutter, haha. Nurut ngana?*. Tentunya si kakek pun begitu sadar kamera.

Jadi, tidak hanya bentang alam yang menakjubkan yang bisa dijadikan objek foto, tetapi juga si kakek yang selalu siap sedia nongkrong dengan rokok dan sabitnya. Okesip! *melipir ke toilet*.

Sabtu, 07 Juni 2014

Dieng; Manusia, Sikunir, Cebongan, dan Sampah

Hari itu merupakan hari terakhir bulan kelima dan hari terlalu sore saat saya dan 4 orang teman lain memutuskan untuk melepas kopling dan menginjak gas mobil dari Magelang. Ini kali pertama saya pergi ke dataran tinggi Dieng.

Meninggalkan Magelang dan Temanggung, kami memasuki area Parakan dan udara makin dingin saat kami membuka kaca mobil. Syal langsung melingkar di leher, sweater membungkus badan dan kupluk menutup kepala saya.Dari Parakan menuju Dieng, kami mengandalkan GPS sebagai pembimbing. Kami melewati lereng Gunung Sindoro. Jalan makin menyempit, menanjak, dan tidak menunjukkan adanya kehidupan manusia di sekitaran. Kami mulai meragukan arahan GPS. Saat hati kami bimbang, GPS akhirnya berkata “sinyal GPS hilang”. Jika ada lubang di jalan, mungkin mesin GPS pun tahu.

Kami teruskan hingga akhirnya bertemu dengan beberapa orang untuk kami tanyai. Petunjuk baru didapat, perjalanan dilanjutkan. Makin naik, jalan makin berantakan. Mobil tipe city car kami tampak kepayahan, bukan karena jalanan menanjak dan rusak, tapi karena berat badan lima manusia di dalamnya. Jadilah, mobil goyang dalam artian sebenarnya. Sayangnya sinyal radiopun tidak terdeteksi, karena sebenarnya kami mau sempurnakan dengan dangdut. Di luar begitu gelap, hingga kami bisa melongo menyaksikan bimasakti dan bintang-bintang yang sangat jelas dan berserakan di langit. Pemandangan di kanan kirinya mungkin juga memesona di saat terang.

Setelah selama satu jam tersiksa di jalanan biadab itu, akhirnya kami tiba di homestay dengan gigi gemerutuk. Entah berapa suhu malam itu, menginjak karpet saja bak menginjak es. Buru-buru saya menyabet celana panjang yang sudah saya pakai untuk menembus semak belukar di pagi harinya dan memakai kaos kaki. Walaupun bagian tubuh yang sensitive dingin sudah tertutup, tetap saja masih membuat hidung saya tak berhenti mengalirkan cairan kental nan bening. Iya, ingus. Dalam beberapa menit, kami meminum kopi dingin, dan mencicip mendoan beku yang sebelumnya datang dalam keadaan panas. Kami tak bertahan lama berjalan-jalan di luar.

Itinerary kami standar saja, seperti wisatawan pada umumnya. Kami harus mendaki Sikunir untuk sebuah momen matahari terbit. Antrean untuk parkiran begitu panjang, maklum hari libur. Petugas parkir tak cekatan mengarahkan pengendara mobil untuk parkir. Huft.

Tak ada kendala naik menaiki Sikunir selama 30 menit. Tapi di saat tiba di spot-spot sunrise, saya justru seolah melihat pasar. Memang ada penjual dan ada pembeli dengan kopi panas, mie cup dan snack sebagai barang komoditasnya. Walaupun begitu, saya tetap bisa menikmati pemandangan saat semburat oranye mulai menyeruak dari langit timur, memudarkan siluet dan menampakkan tekstur Sumbing, Prau, Merapi, Merbabu yang di sisi kanan.
Photoception
Syahdan, syahdu terasa, sebelum semua orang berteriak dan bertepuk meriah saat sang pusat tata surya terlihat menyembul dari balik pegunungan. Dalam hati saya bertanya, apakah mereka tak pernah menyaksikan proses matahari terbit sebelumnya? Mungkin mereka orang kota, orang sibuk, orang kurang piknik. Hmmm..
Sunrise Sikunir 
Sikunir makin terang. Matahari mulai menyorot kuat. Orang-orang mulai berjalan turun. Saya melirik ada botol minuman sengaja ditinggal. Saya pungut dan masukkan ke kantong plastik. Semakin mata saya berkeliaran ke kanan dan kiri, makin terlihat banyak tissue, plastik snack, gelas mie instan, botol minuman lain, bungkus permen, dan ragam sampah lainnya. Saat saya mengambili sampah itu, banyak yang memandangi saya. Tetapi saya tak mau menafsirkan pandangan itu. Saya hanya berpikir mereka (yang membuang sampah) mempunyai pikiran yang terbalik. Saat naik membawa bekal makanan/minuman yang isinya masih utuh pastinya lebih berat dibanding saat sudah tersisa bungkus/botolnya saja. Tapi mereka tetap enggan membawa turun dan membuang di tempat yang semestinya. Sepanjang perjalanan saya turun, saya mengumpulkan dua kantong plastik sampah. Manusia! Saya tidak habis pikir jalan pikiran mereka.
Jalanan macet vroh
Tiba di kaki bukit, kami mencoba melihat telaga Cebongan. Wuih! Sudah banyak doom, -kata seorang temen, dulu sedikit. Dan sampah. Hehe. Sudahlah. Aku kudu piye?
Telaga Cebongan
Sampah dong!

Jumat, 06 Juni 2014

Tentrem yang Adem

Sebenernya saya tidak terlalu suka dengan es krim, tapi kenapa saya menulis tentang es krim? Karena, ya ingin saja.

Saya membolak-balikkan buku menu yang agak usang dan akhirnya memesan es krim berjudul Horn Keranjang, tiga scoop es krim rasa coklat, stroberi, dan leci, dengan garnish astor dan siraman coklat cair nan tipis. Saat suapan pertama masuk ke dalam mulut, rasa dan teksturnya berbeda dengan es krim – es krim merk sekarang, amat klasik. Rasa dan teksturnya justru mirip dengan es dung-dung jaman saya masih ingusan.


Mata saya tak henti mengamati ruangannya hanya sekitar 3 x 5 meter saja. Mungkin karena itu, desain interiornya dipenuhi dengan kaca agar terlihat luas. Hanya ada 2 meja di sisi kanan dan 2 di sisi kiri. Antar meja yang dipasangkan dengan kursi rotan, disekat oleh kisi dengan motif floral.

Penasaran apakah ada ruangan lain, saya pura-pura minta ijin ke toilet. “Ini lurus aja, nanti mentok, belok kiri ya, Mbak”, ujar mbak-mbak pramusaji seolah-olah jalurnya rumit dan jaraknya jauh – tapi untuk ukuran menuju toilet, ya jauh. Saat berjalan, saya melihat seorang bapak-bapak yang saya taksir adalah pemiliknya dan beberapa pegawainya yang sibuk menata es krim di kotak pendingin yang jumlahnya lebih dari sepuluh buah. Saya takjub, ternyata di dalamnya lebih luas.

Tidak hanya es krimnya saja yang klasik, namun arsitekturnya juga masih mempertahankan gaya lama. Pintu masuknya merupakan 2 buah pintu kaca geser yang masing-masing bergambar segelas es krim warna-warni yang warnanya kian pudar. Saat mata saya melongok ke atas, tertulis “sejak 1952, Es Krim Tentrem”. Enam puluh dua tahun, sodara, sodara. Seperlima usia saya saat ini *digebug scoop es krim*. Dan, bapak yang saya temui di dalam tadi, yang akhirnya saya ketahui bernama Sulaiman, merupakan generasi ketiga yang mengelola Tentrem.



Saat saya menikmati es krim, hanya ada sepasang ABG SMU (mungkin mereka anti mainstream, di saat ABG lain nongkrong di mall, mereka lebih memilih di es krim klasik). Yang saya herankan adalah walaupun pengunjung tidak banyak, tetapi produksinya seperti tetap massive, karena saya juga tidak tahu mereka terima pesanan atau tidak.

Ohya, letak es krim Tentrem ini di Jl. Urip Sumoharjo, Solo, di sisi sebelah barat. Mata harus jeli, karena pepohonan pembatas jalan cukup rimbun untuk  menghalangi pandangan.

NB:
Buat Pak Sulaiman, mungkin butuh peremajaan interior dengan mempertahankan keklasikannya Pak, biar lebih menarik. Plus, buku menunya juga ya, Pak.

Penampakan es krim lainnya nih 
pink panther
banana split

Selasa, 15 April 2014

Song of a Cold April Dusk



Sing me a song of a cold April dusk
When the sun falls asleep beneath the horizon and the rays turns into dark
When the lake gets silent and the trees becomes quiet
When the warm of the day begins fading and the hill starts chilling
The dusk has now long gone with the evening star and the moonrise's pale light
There stands a heart of lone
Stunned on how the mother nature preserve herself at somewhere in East Belitung.

Saat itu sore hari setelah hujan, di mana udara mulai menurun temperaturnya. Tenang dan tidak berangin, sehingga airnya tenang.  Kamera telepon seluler saya menangkap gambar yang sama dengan apa yang mata saya lihat. Rawa itu adalah bekas pertambangan timah hitam / batu satam. Karena sudah lama tidak ada aktivitas pertambangan, kini tepiannya telah ditumbuhi rerumputan. Pepohonan pun makin rimbun. Saat siang hari, airnya hitam.

God lets us see the beauty of a perfect imperfection of anything.

Jumat, 29 November 2013

Rindu Semalam di Ubud, Bali

Bukan tulisan romantis.

Ransel dengan berat lebih dari 7 kg menggantung pasrah memberati punggung saya. Penuh peluh, saya berjalan mengantar rombongan tour menuju penginapan di Ubud untuk check in. hari sudah gelap,gerimis mulai merintik, sedangkan badan saya sudah cukup lelah untuk menempuh jarak lebih jauh lagi karena telah berjalan ke sana ke mari seharian. Suasana gelap membuat saya kesulitan menemukan penginapan yang saya tuju.

Setelah setengah jam berlalu, satu tugas selesai, peserta tour telah masuk kamar masing-masing. Walaupun begitu, tanggung jawab saya belum selesai. Masih ada tetek bengek dengan makan malam. Saat semua terselesaikan, akhirnya saya mendapati sepotong surga yang berbentuk kasur karena seolah tak ada yang lebih melegakan selain melihat kamar tidur.

Saat itu, berkali-kali saya menerima sumpah serapah kawan TL. Betapa tidak, sehari semalam badan saya belum terguyur air dan sabun, keringat berkucuran dan saya yakin daki-daki yang menempel di tubuh saya makin menebal. Tapi bau badan saya mungkin tidak seberapa dibanding dengan sepatu yang seharian saya kenakan, kini beraroma tidak lebih enak dari rendaman pakaian kotor sebulan. Baunya pun seakan melekat pada kaki. Kalau bisa, saya copot dan buang kaki saya itu, dan menggantinya dengan yang baru karena baunya tak karuan, membuat mual. Hehe.

Sudah, air hangat mengguyur badan saya. Berlama-lama saya di dalam kamar mandi meluruhkan daki dan bau tak sedap. Tak ada lagi caci maki dari mereka. Kini, waktunya kopi, pikir kami, untuk sedikit relaksasi, walaupun terlalu larut.

Kami berjalan keluar dari gang sempit. Sunyi. Senyap. Yang ada hanya aroma dupa dan sesekali gonggongan anjing peliharaan setempat. Sepanjang gang, kanan kiri hanyalah penginapan khas bangunan Bali dengan arca-arca di pintu masuk mungil yang hanya dapat dilewati satu atau dua orang saja, café dan warung kopi kecil atau sekedar persewaan motor, dan beberapa kios spa dan pijat tradisional lengkap dengan tempayan berisikan air dan bunga kamboja yang ditata dengan cantik. Bunga-bunga kamboja bertebaran di jalanan, mungkin jatuh dari canang, tempat sesaji, atau dari pohonnya yang tumbuh di sepanjang jalan. Benar-benar tidak saya perhatikan sebelumnya saat saya mencari penginapan tadi.

Keluar dari gang, tak kami temui satupun coffee shop yang masih buka. Hanya ada swalayan 24 jam. Dan di situlah kami akhirnya berhenti dan menikmati kopi instan yang dingin sembari bercakap dengan seseorang local.

Makin larut. Kami putuskan segera kembali ke penginapan. Saya tidak merasa terlalu lelah saat berjalan, karena dua kawan saya ini begitu menyenangkan dengan lelucon mereka. Pun dengan suasana malam yang tenang dan syahdu. Saya mengakhiri malam yang terlalu singkat dengan menghirup dalam-dalam bunga kamboja yang saya ambil dari jalanan. Sungguh. Wangi. Khas. Ini Bali.

Dini hari yang dingin mengistirahatkan badan kami hingga pagi hari.

Alarm hp sudah melolong berkali-kali. Di luar kicau burung mulai riuh. Pagi yang terlalu memburu dengan tugas dan tanggung jawab lagi.

Tak sempat saya menikmati waktu santai di Ubud. Mungkin sekedar merasakan suasana pagi di balkon penginapan, merendam kaki di kolam renang, berjalan-jalan melihat persawahan hijau di bawah langit biru, duduk berlama-lama di coffee shop sambil memandangi lalu lalang kendaraan dan mendengarkan musik akustiknya saat malam hari, mengambil bunga kamboja dan menyelipkan di rambut dan bergaya layaknya perempuan-perempuan cantik.



Biar, ini terlalu berlebihan, because I’ve already missed Bali.
Can I ask for one more Ubud with the details i wanted, please?!

Sabtu, 28 September 2013

Stealing Wonder from Getting Lost


“Not all who wander are lost”. Kutipan dari J.R.R. Toelkien, penulis The Lord of The Ring, yang sering saya dengarkan dan saya baca ini tiba-tiba terngiang-ngiang di telinga begitu perjalanan saya waktu itu di Kinabalu seolah tak berujung. Saya tepuk jidat. Kalimat itu seolah tak berlaku untuk saya saat itu. Saya benar-benar tersesat di negeri orang. Sungguh, tidak ada kesengajaan dari saya untuk menyesatkan diri, terlebih di tempat yang asing.

Kota Kinabalu, 27 Januari 2013


Riuh rendah di luar hostel pukul 5 pagi membangunkan saya. Hari masih gelap, sinar matahari belum memaksa menerobos melalui kisi-kisi jendela. Saya sedikit menyibak gorden jendela, mengintip, penjual di Kota Kinabalu (KK)  mulai membuka dan menata lapak jualan mereka. Ada pasar Minggu. Saya dan dua travel mate bergegas berkemas dan check out, berjalan melalui hiruk pikuk pasar menuju pangkalan bus untuk menuju kawasan Gunung Kinabalu di Kundasang. 

bus menuju Pasar Kundasang


Seat di minibus sudah didapat, kami duduk manis sambil menikmati pemandangan bukit dan lembah sepanjang perjalanan dari KK menuju Kundasang selama dua jam. Kami turun di Pekan (pasar) Kundasang. Berbekal peta dari google, saatnya kami mencari hotel Seri Kinabalu Resort yang sudah dipesan melalui website.

Sekitar Pekan Kundasang
Tak perlu naik kendaraan umum lagi, karena letaknya di peta hanya sekitar satu kilometer ke arah barat dari Pekan Kundasang. “Ah, itu kecil buat kita”, pikir kami. Satu kilometer dari pasar sudah tertempuh. Seharusnya hotel sudah dekat, tapi tak nampak sedikitpun tanda-tanda adanya hotel. Tidak. Dua kilometer. Kami tanya penduduk yang terlihat di sekitar, tak ada yang tahu hotel tersebut. “Lho, masak google salah sih?” kami mulai meragukan keberadaan hotel dan google. 


Km 1

Km 2 yang katanya mirip Swiss, iya ga sih?
Kami berjalan kaki di jalanan yang menanjak, matahari semakin menantang di atas kepala dan begitu menyengat, udara kian panas hingga kami harus melepas jaket yang menempel di badan sedari berangkat tadi. Cukup aneh memang, karena Kundasang merupakan kawasan pegunungan, tapi temperatur tinggi. Sepertinya sudah tiga kilometer. Kami tersesat. 


Perjalanan yang semula kami nikmati, kini mulai kami keluhi. Tak banyak lalu lalang kendaraan. Tapi kami coba acungkan jempol pada setiap mobil yang melewati, tak satupun berhenti dan memberikan tumpangan. Keringat mulai benar-benar membasahi kaos, seperti orang habis tersiram air. Berkali-kali kami mengelap dahi yang berpeluh. Tak ada tempat teduh, kanan kiri rumput gajah. Haus, namun bekal air minum tersisa sedikit. Aduh, sial!

Di ujung tikungan, ada sebuah bangunan kecil. Kami putuskan untuk beristirahat sejenak di situ. Warung! Syukurlah, batin saya. Yes, makan! Energi kami mulai menipis. Sambil melahap mie instan layaknya gelandangan, kami ngobrol dengan penjaga warung yang juga sekaligus petani kubis. Kami juga ditemani seorang laki-laki, sebut saja Mas Bambang, yang ternyata orang Magetan. Jauh-jauh hingga ke Kinabalu, ketemu orang Jawa. Kami menyimaknya berkisah tentang perantauannya yang berat.


A meal and a view
Hingga akhirnya penat telah luruh, giliran kami bercerita tentang ketersesatan kami. Mas Bambang lalu menelpon temannya untuk meminta tolong mengantar kami. Sambil menunggu dan meneruskan bercengkerama di tepian jalan, kami memandangi jalan yang telah kami lewati. “Seperti di Swiss!” kata dua teman saya yang pernah berkelana ke Eropa. Rumput gajah di kanan kiri jalan yang tanpa pepohonan terlihat bak padang yang membentang. Indah. “Wow!” saya hanya mampu berseru. 


Km 3, kilometer terakhir saat kami menyerah.
Di kala menunggu
Akhirnya, teman Mas Bambang datang, kami pun segera berpamitan, berterima kasih terhadap bantuannya dan masuk ke mobil untuk diantar kembali ke Pekan Kundasang dan mencari petunjuk di mana keberadaan hotel yang misterius tadi. Walaupun teman Mas Bambang pun tak pernah mendengar hotel yang kita tuju, tapi dia bersedia mengantar kami bertanya sana-sini. Dan, akhirnya, kami mendapat jawaban. Lalu dimana? Entah siapa yang memasang gambar hotel di google diletakkan di arah barat Pekan Kundasang. Itu salah! Menjerumuskan! Letaknya satu kilo di arah utara Pekan Kundasang. Ah! Kami sempat memaki-maki sendiri, tapi tak tahu siapa yang harus dimaki, entah manajemen hotel, entah google, entah staff IT hotel atau staff website reservasi itu.


Tiba kami di pekan, kami bertanya ongkos, ternyata sudah dibayar oleh Mas Bambang. Kami semakin merasa berhutang padanya. Dan sesungguhnya ketersesatan kami tidaklah buruk. Kami justru diminta untuk melihat pemandangan menakjubkan dan bertemu saudara dari Jawa. 

Saat tiba di hotel, walaupun penampakan dan fasilitasnya jauh dari ekspektasi, tapi sekitarnyalah yang memanjakan mata kami.
The hotel. Dinding penuh kotoran kelelawar dan kurang terawat dan tertata.

Yet, getting lost is not always bad, dude! See these!!
Puncak Gn. Kinabalu dilihat dari belakang hotel

Puncak Gn. Kinabalu dilihat dari samping kanan hotel

The taken care beauty