Selasa, 23 Desember 2014

Ucapan Hari Ibu


mother and daughter
Hari ini semua orang mengucapkan Selamat Hari Ibu di medsos, tak terkecuali saya. Entah di kehidupan nyata mereka benar-benar mengucapkannya kepada ibu mereka atau tidak. Aku sih no.

Seingat saya, saya hanya dua kali mengucapkan hari ibu. Saya tidak ingat kapan pertama kali saya mengucapkannya. Dua puluh dua Desember waktu itu, saya sedang berada di rumah dan bertepatan dengan hari libur. Ibu saya sedang tidak mengajar. Pagi itu, kami menghabiskan waktu berdua di depan tv menonton acara sampah dan gossip. Such a quality time.

Gossip pagi itu menampilkan seorang selebriti yang sedang memeluk ibunya, mengucapkan selamat hari ibu, lalu menciumnya. Bak sedang nonton film biru, saya merasa malu dan canggung dengan ibu saya yang duduk di samping saya. Pasalnya, setelah hampir seperempat abad (ini beberapa tahun lalu ya) ibu saya membesarkan saya, belum pernah sekalipun saya memberi ucapan serupa selebriti itu. Pun ada rasa malu karena selama itu, saya belum bisa membanggakan/membahagiakan beliau.

Jadi seketika tayangan itu berakhir, terjadilah momen awkward. Saya akhirnya mengucapkannya seraya mencium tangan beliau.

Dua puluh satu Desember, dua taun yang lalu, saya mendapat surel dari institusi beasiswa yang saya daftar sebelumnya, mengumumkan kelolosan wawancara beasiswa saya. Benar-benar momen ini masih membekas di hati saya yang paling dalam. Saya sungguh senang bahwa selangkah lagi saya akan bersekolah di luar negeri. Keesokan harinya, pukul delapan pagi, saya telepon ibu saya yang sedang berada di desa, dengan nada riang, saya mengucapkan selamat hari ibu dan mengabarkan berita bagus di hari yang dispesialkan itu. Entah bagaimana perasaan beliau saat itu. Saya hanya yakin bahwa setidaknya dengan saya bisa bersekolah di luar negeri akan membuat ibu saya bangga di depan rekan-rekannya. Siapa sih yang tidak senang dapat kesempatan emas seperti itu, apalagi wong ndeso seperti saya ini. Walaupun harapan itu akhirnya pupus. Saya gagal. Sepertinya karena sudah ada niat riya. Huvt.

Hari ini, saya hanya berkicau di twitter. Masih canggung dan malu. Lagi. Bahkan kepada ibu saya sendiri.
Sebenarnya dari dulu, di desa saya pada umumnya, dan keluarga saya pada khususnya, tidak terbiasa dan dibiasakan untuk memberi ucapan selamat. Kami sebenarnya ingin melakukannya atas nama kebahagiaan dan perhatian, hanya saja kami tidak terbiasa. Jadi kalau ada yang melakukannya mungkin akan terdengar aneh. Di desa saya lho ya. Saya tidak tahu dengan desa yang lain.

Kebahagian dan perhatian itu justru lebih ditunjukkan dengan perayaannya, seperti selametan dengan doa-doa dan makanan untuk bersama. Pun, hal seperti itu biasa untuk kelahiran dan kematian saja, sesuai kalender jawa pula. Untuk memperingati sesuatu berdasarkan kalender masehi sangat jarang, terlebih dengan hari-hari yang ditetapkan dalam skala nasional maupun internasional. #hasyah

Ucapan selamat yang sering saya dengar di kampung adalah “sugeng riyadi” di Hari Raya Idulfitri. Ya, cuma itu saja. Akan tetapi, bagaimanapun juga, walau tanpa ucapan itu pun, ibu saya (pada khususnya), yakin kalau saya menyayangi dan menghormati beliau. Pun dengan kata “sayang” ini, saya merasa lebay atau hmmm… ‘gay’ :p

Bahasa Jawa punya istilah sayang apa tidak sih, karena sepertinya “tresna” itu tidak tepat sasaran dan tepat guna dalam konteks seperti ini.

Hari ini, saya tidak memberi ucapan kepada beliau. Juga tidak ada kabar bahagia yang patut saya kabarkan untuk membahagiakan beliau. Mungkin ibu saya berdoa agar calon mantunya cepat datang ke rumah. Lah, sama buk. #hyakdesh *lalu pencak silat*.

*sungkem ibuk*

Selasa, 14 Oktober 2014

Stroberi Sekipan

Selasa pagi minggu kedua di bulan Oktober tersaji manis. Saya bangun di kawasan bumi perkemahan Sekipan, Tawangmangu di pagi yang terlalu pagi, sementara dua teman saya masih meringkuk dalam sleeping bag masing-masing. Begitu saya membuka pintu, dinginnya udara pegunungan bersambut angin yang bertiup tidak sepoi-sepoi makin membuat kulit saya begidik kedinginan walaupun saya masih berbalut baju lurik hangat. Saya kembali masuk ke dalam dan membuat segelas kopi panas lalu menyeruputnya sambil menikmati pemandangan, bak di film-film.

Pagi itu adalah hasil dari sebuah rencana yang saya buat satu minggu sebelumnya, memetik stroberi di kebun milik seorang teman yang punya penginapan yang saya inapi ini. Tidur semalam hanya demi memetik stroberi di pagi harinya. Dia akhirnya mengantar kami ke kebun stroberi milik orang tuanya yang tidak jauh dari penginapan. 

Kebun stroberinya merupakan salah satu di antara beberapa kebun yang terhampar di antara villa-villa yang kian menjamur di sekitar. Sebenarnya tidak hanya stoberi yang menjadi andalan, karena, ya kali orang beragrowisata memetik daun mint dan icip-icip semriwingnya di tempat. Tapi monggo saja kalau berminat lho. Masih ada juga wortel, ubi, daun bawang, dan lain-lain.


Mint. Just in case you've never seen before
Titik-titik merah terlihat memberi warna di antara rimbunnya lajur-lajur hijau. Saya pun langsung berjingkat menuju sawah yang ditunjuk. Dan inilah waktunya panen stroberi. Iya, manenin stroberinya orang sambil makanin di tempat :p

Ah, saya berasa orang kota yang gembira dan penuh gairah yang tidak pernah lihat sawah. *ditabok pupuk kandang*. Padahal lebih ndeso dari Sekipan. 






Terima kasih kepada Bang Ipul yang telah mewujudkan keinginan saya memetik buah yang selalu membuat saya gemas setiap kali melihatnya. Here are the sweet and sour strawberries :3
fresh from the nature
photo credit: Yusuf
siap dibungkus

Selasa, 09 September 2014

Makhluk Manis dalam Kereta

Saya pinjam judul salah satu serial Lupus, 'Makhluk Manis dalam Bus' dari Hilman untuk mewakili curhat kali ini, yang berbeda hanya setting saja.  

Tiap kali naik kereta, belum pernah (dan berdoa agar) saya dan pasti juga kalian berhadapan atau duduk sesampingan dengan makhluk manis untuk sekadar pencuci mata. Sementara kali ini doa saya dikabulkan, tetapi saya malah menjadi kaum oportunis yang buruk. Jangankan bertukar nomor hp, bicara saja tidak sama sekali. 

Pukul 15.04, saya berlari masuk dari luar stasiun mengejar kereta menuju Surabaya yang berangkat satu menit berikutnya, berharap kereta terlambat seperti pada umumnya waktu yang berlaku di Indonesia. Tapi kereta tiba tepat waktu dan saya berdesakan dengan penumpang lain segera masuk mencari tempat duduk sesuai tiket.

Saya menemukan tempat duduk saya telah diisi pasutri (untung tidak tertangkap basah berbuat mesum). "Nomer berapa, Mbak?", tanya seorang lelaki yang duduk di depan kursi saya. "20D, Mas", jawab saya tanpa melihat wajahnya tetapi dengan menatap pasutri itu. Seketika mereka bersungut-sungut pindah ke kursinya sendiri. "Hello... This is my seat!", gitu sih kalau kata AGJ.

Tak ada lagi tempat tersisa untuk meletakkan carier (biar keren dibacanya) saya. Kini akhirnya saya menatap mas-mas itu untuk meminta ijin meletakkan carier saya di samping kakinya. Dia tersenyum simpul. Manisnya.. #eaaaa

Saya sibuk mencari posisi wenak sembari sedikit melirik-lirik manja
ke arahnya (Astaghfirulloh, imeh, jina, itu jina mata). Saya lihat dia sekarang justru menyumbat telinganya dengan headphone, sibuk dengan gadgetnya.

Sekitar setengah jam berlalu hanya dengan mencuri pandang. Tinggi badannya mungkin sekitar 170an cm. Badannya agak gempal. Penampilannya seperti traveler, backpacker, pejalan, dan sebangsanya. Badannya berbalut kemeja flanel kotak-kotak biru abu-abu sebagai luaran kaos Consina hitam. Celananya kargo warna cokelat terang selutut. Saya lirik ke bawah, sepatunya fantovel semi casual, entah apa namanya, saya bukan pengamat fesyen. Melingkar di tangan kanannya, jam tangan merk Fossil. Seketika saya iri dengan travel pouch warna cokelat army di pangkuannya dan day-pack yang bersandar di lengan kanannya yang kekar. Jadi, pilih nyender apa dipangku?

Dia melepas salah satu headphone-nya. Lampu hijau mulai menyala untuk membuka percakapan. Tapi tangan saya masih tetap sibuk mengetik dan berbincang dengan teman-teman melalui whatsapp. Pasti akan terlihat aneh jika tiba-tiba saya mengajaknya bicara. Wanita memang makhluk paling galau sejagad raya. *nguwel-uwel kemeja masnya*

Saya hanya sesekali menjadi paparazzi, dengan was-was kalau ketahuan, untuk tagihan teman yang saya ajak bergunjing di whatsapp.
 
Kereta kini tiba dan berhenti di Stasiun Madiun. Sinar matahari sore menerpa kulit coklatnya. Dan saya menikmati pemandangan ini. Tapi tiba-tiba dia berdiri meraih ranselnya, dan tersenyum. Gigi gingsulnya menghias senyumnya. Aduhai, manis sekali. Dia turun dari kereta meninggalkan senyum manis. Laaaaaaah, saya penonton kecewa. 

Dan kesempatan tidak datang dua kali (tapi tiga kali, empat kali, lima kali, dan lebih banyak kali lagi).

P.S.: Semoga masnya nggak baca. Nggak mungkin juga sih :D

Jumat, 29 Agustus 2014

On Bidding Goodbye



Dear Diary,

Last night I was invited to one of my foreign friends’ farewell party. I came with some local friends. 

As I enter the gate of the house, I saw some people barbequing fish. I shook their hands in the midst of the smoke. While coughing, I tried to smile to everyone. 

He who invited me was standing at the doorway. He was in a white T-shirt and green chino short pants. I waved my hand and approached him. A little hugs and shake hands, I went into the white painted house.

I looked everyone looking good. Most of them are students from around the world. It was a party of all races. The smells of the food being cooked welcome me. I put my cokes in the table where some of countries’ specialties brought by everyone are put as well. It is different to my culture where the host serves all the food and beverages. Yet, this is where the good at. I can taste Thai food, Chinese, Italian, Arabian, and Indonesian food as well for free. :D

I only knew some guests. Some I just met. I made friends with the rest. Yes. I just met them for bidding goodbye. The sad thing about knowing them just in time they would go back to their home country is that we met fun persons only once, no any other time for hanging out, cooking food together, and knowing them better. And I wondered why. But the good thing is that sad feeling about losing friend is not too deep. 

The rest of the night was just spent for chatting, joking, and singing with a guitar. I was more interested to make joke, instead of making serious convo. It was full of laugh – mostly mine, I mean I was the one with loud and uncontrollable laugh. Well, at least I could share the laughter and memories of a hilarious farewell party. 

“There is no real goodbye”, as one of the guests made speech. Indeed, goodbye is only losing the presence. People are still connected through any means. Yea, but first, lemme take a selfie, oh no, wefie. *posted it on facebook*




Rabu, 16 Juli 2014

Berjumpa Payung Teduh

Sorak sorai penonton bergemuruh saat Is, Comi, Cito, dan Ivan memasuki panggung satu persatu. Terdengar kian keras saat Ivan memetik ukulele memulai intro lagu “Angin Pujaan Hati”. Tanpa perlu komando, penonton ikut bernyanyi bersama Is, sang vokalis. Tak jarang dia melemparkan mic ke arah penonton, seketika itu juga suara penonton makin bergema. Lagu pertama dalam bingkai Diorama Senja, Payung Teduh menyeluruh ruangan GOR Manahan Solo.

Malam itu di pertengahan bulan Juni, Is yang mengenakan blouse hitam dan celana ketat berwarna cerah dengan rambut gondrongnya yang diikat, bernyanyi dengan mengalungkan gitar akustiknya di pundaknya. Dengan penuh penghayatan, Comi sesekali memejamkan mata saat memetik bassnya. Tepuk tangan dan siul penonton riuh saat melodi bassnya mengisi interlude lagu. Ivan terlihat duduk santai di kursi kecil sambil memegang ukulele di depan dadanya. Mengiringi suara Is, Ivan mengambil suara dua. Dentuman lembut drum Cito melengkapi gelaran konser malam itu.
Dari tempat saya duduk
Band indie asal Jakarta ini, membuat GOR Manahan Solo memanas. Sementara di luar, hujan jatuh mengguyur seluruh kota. Saya duduk di tribun yang berhadap-hadapan dengan panggung. Badan saya yang basah karena kehujanan saat menuju venue, tidak kian mengering, justru bercampur keringat. Seperti penonton yang berdiri persis di depan panggung, kami yang di tribun duduk rapat-rapat tanpa jarak. Ruangan benar-benar penuh oleh para penikmat musik mereka. Tak hentinya saya mengelap keringat.

Saat “Resah” dimainkan, tidak ada penonton yang tidak bernyanyi. Terlihat dari screen di samping panggung, sebagian dari mereka menghayati melebihi sang vokalis sendiri. Mereka seperti terbuai dalam lirik-lirik puitik dan romantis namun tidak picisan.

Lirik dalam tiap lagunya selalu membawa unsur alam. Udara, angin, langit, bulan, matahari, laut, gunung, pohon. Bahkan beberapa lagu tidak hanya menjadikan alam sebagai penghias di antara cerita cinta, rindu, dan lara, namun juga sebagai pemeran utama dalam melankolinya seperti dalam lagu Cerita Tentang Gunung dan Laut.

Petikan gitar, bass, dan ukulele berpadu dengan gebukan drum dalam melodi membuat aliran musik yang memanjakan telinga. Bagi saya yang awam musik, tidak perlu ada mendengarkan liriknya untuk bisa larut dalam imaji yang ditimbulkan dari alunannya. Tapi, suara lirih nan bass sang vokalis mampu membawa daya khayal kian hanyut.

Saya mengenal musik mereka dari radio lokal yang dahulunya sering memutar saat larut malam. Lalu, saya makin sering mendengar saat berada di coffee shop – coffee shop. Lagu mereka seolah sudah menjadi anthem untuk warung tongkrongan anak muda.

Saya menjadi fans-hampir-alay semalam. Seusai konser, saya segera berlari ke back stage untuk meminta foto bersama, — hal yang tak pernah saya lakukan sebelumnya. Tapi yang saya temui hanya Comi. Baiklah. Tak mengapa. Saya sempat mengulurkan tangan hendak berjabat tangan dengannya, tapi mungkin karena warna tangan saya nampak samar dalam gelap, saya rasa tidak dia lihat. Awkwaaaard. Setidaknya mimpi bertemu mereka di malam sebelumnya menjadi nyata. 
sebelum awkward moment

P.S: kesalahan bukan pada monitor/LCD atau mata anda, tetapi pada kamera hp saya yang beresolusi tiarap tanpa flash. Gambar juga telah melalui pencerahan berulang kali.

Sabtu, 12 Juli 2014

Bangkok dalam Jangkah Kaki

Mungkin hanya orang bodoh yang bersedia keliling kota yang luas dan panas dengan berjalan kaki seharian penuh. Dan mungkin kami bodoh.

Pukul 10.00 pagi di kota Bangkok. Pagi yang terlalu siang untuk berjalan kaki berkeliling kota Bangkok. Setelah mandi, sarapan dengan indomie yang kami niati bawa dari Indonesia dan sedikit touch up, saya dan 3 orang kawan ―selanjutnya disebut Yusuf, Reza dan Erwin― melihat peta wisata, berdiskusi, dan memutuskan untuk mengunjungi kuil-kuil dengan naik kapal menyusuri sungai Chao Phraya sebelumnya.

Kami tiba di port Central Pier untuk naik kapal menuju kawasan kuil. Guide menjelaskan apa yang terlihat di tepi kanan dan kiri sungai, namun entah karena angin kencang, sound microphone yang kurang keras atau telinga sayalah yang terganggu, saya tidak bisa mendengar apa yang dikatakan. Saya yakin usaha wisatawan lain untuk mendengar guide berbicara juga nihil. Mereka terlihat memicingkan mata dan berusaha fokus, tapi lalu sibuk dengan kamera masing-masing. Dari sekian banyak bangunan yang unik, yang saya kenali hanyalah Wat Arun, kuil di sebelah barat Chao Phraya.
 
Tongue-twister name #1, Wat Arunratchawararam Ratchaworamahavihara

Kami turun di port yang hanya 200 meter dari kuil Wat Po yang terkenal dengan Buddha raksasa yang sedang tiduran. Hanya Yusuf yang masuk. Karena sisanya, walau sebenarnya ingin, tapi memegang teguh komitmen dari awal bahwa tidak akan masuk ke obyek wisata yang tidak free entrance. Irit dan komit memang sulit dibedakan.
Tongue-twister name #2 
Wat Phra Chettuphon Wimon Mangkhlaram Ratchaworamahawihan
(Wat Po)

Kami membunuh kebosanan dengan melakukan kebodohan goyang bang jali dan goyang cesar. Saat itu kami tidak sadar bahwa pos satpam ada di seberang di mana kita bergoyang dan cctv di mana-mana. Berbarengan dengan Yusuf keluar, kita cukupkan sedikit malu itu dan melanjutkan perjalanan. #abaikanparagrafini

Kami tiba di kawasan Wat Phra Kaeo atau Grand Palace. Terik matahari memaksa kami menyerah penuh peluh. Bekal air mineral habis dan kami berhenti pada kios swalayan di antara kios souvenir yang berjejer. Saya, Erwin, dan Reza bergegas masuk membeli air. Glek! Suara air mineral kami telan membasahi kerongkongan kami yang kering. Dan, glek! Di saat itulah kami tidak menemukan Yusuf. Padahal perjalanan masih panjang. Kami celingak – celinguk kanan kiri. Tak kami temukan sosok Yusuf.
Tongue-twister name #3 Wat Phra Sri Rattana Satsadaram
Kami putuskan untuk masuk kuil, lebih tepatnya halaman kuil, dahulu hanya untuk sedikit berpose sembari mencari Yusuf. Saat kami keluar, Yusuf tak jua terlihat. Kami berpikir dua kali untuk menghubungi Yusuf melalui sms karena tarifnya yang beratus kali lipat. Sungguh keyakinan kami bahwa insting survival Yusuf sangat tinggi, maka kami berinisiatif untuk melanjutkan perjalanan tanpa dia.

“Kita di sini” kata Reza sambil menunjuk peta wisata. Ya, kami berada di taman depan kuil. Ada kolam bundar dengan air mancur di tengahnya. Ratusan burung dara jinak berjalan dan beterbangan di sekitarnya. Taman ini bersih dari sampah, tapi banyak bercak kotoran burung. Di samping taman ini, terdapat lapangan luas dikelilingi trotoar yang lebar. Kanan dan kiri trotoar ditanami pohon dan dipasangi kursi taman. Saya bayangkan kesyahduannya saat menjelang senja. Hmmm…
Mau kasih makan burung harus bayar
bikin pengen maen gobak sodor nih!

Khaosan sepertinya hanya berjarak kurang lebih 1-2 km dari taman ini. Berjalan sambil ngobrol membuat perjalanan tidak (belum) terlalu terasa melelahkan. Menurut saya, Khaosan ini adalah Malioboro-nya Thailand. Tapi lebih dari Malioboro, di sini semua hal bisa menjadi barang komoditas, dari pakaian, bikini, tas, sandal, souvenir, makanan, bir, jasa pembuatan tattoo dan bahkan ID card palsu pun ada. Ini sangar!

Democracy Monument, landmark utama di titik nol Thailand pun kami lewati, sambil sesekali berhenti membeli makanan ringan [baca: babi bakar, tapi saya tidak] di pinggir jalan. 
but first, lemme take a selfie!

Salah satu ruas jalan yang beberapa bulan lalu sempat dijadikan lokasi untuk unjuk rasa masih tampak lengang. Hanya terlihat seorang kakek asyik bersepeda dan seorang pemuda ber-skateboard ria di antara bekas mobil terbakar dan tumpukan ban mobil. Kami juga masih melihat sisa unjuk rasa. Dua ruas jalan masih diblok, didirikan semacam tenda, dan terdapat pula toilet temporer. Saat kami melewatinya, ada seorang yang sedang pidato di mimbar. Sayang sekali kami tidak mengerti bahasa Thai dan tidak ada subtitle di jalan. #yakali
pasca demonstrasi, aman!

Semakin menjauh dari titik nol, kami memutuskan untuk melanjutkan berjalan kaki menuju stasiun BTS terdekat, Ratchadewi. Ya, kami tidak kembali naik kapal atau mencoba naik bus yang rutenya tertulis dalam tulisan Thai. Bersenjatakan peta wisata, kami susuri jalan hingga berganti sandal baru karena tali sandal lama saya putus. Beberapa kali kami berhenti dan beristirahat di depan toko yang tutup dan berjalan lagi.

Melewati jembatan, kami lihat ada pasar tradisional sepanjang jalan raya. Ha! Saatnya makan. Saya membeli somtam/yam mamuang (cmiiw) rujak buah mangga dan papaya a la Thailand yang pedas, asem, asin, dan manis dan dicampur dengan ikan teri krispi. Sedangkan dua lelaki ini memilih makan soup, Luden soup yang isinya ada sapi, babi, udang, ayam dan lain-lain. Di bagian pasar yang lain, saya melihat kerupuk sebesar wajan yang belakangan saya ketahui dari google adalah bernama Khao Kriap Waue dan terbuat dari ketan. Sebagai penggemar kerupuk, saya merasa berkewajiban untuk membelinya. Berbekal sapaan “swadee ka” dan berakhir “kob kun ka”, ―walaupun selanjutnya saya tak mengerti bahasa Thai dan ibu penjual tak mengerti bahasa Inggris, tapi dengan bahasa isyarat berhias senyuman―, komunikasi berjalan lancar. Sedangkan Erwin sebagai penggemar babi, merasa berada di surga kuliner babi.
rujak enak
Luden soup
aneka bentuk babi

Sepanjang perjalanan, kami masih menenteng kerupuk wajan dan memakannya sedikit sedikit. Sepertinya ini menarik perhatian orang yang melewati kami karena melihat kami dengan pandangan yang agak aneh. Ya, dari pengendara motor, penumpang bus, hingga polisi lalu lintas. Mungkin ada yang salah dengan kerupuknya, tapi biarlah. (Paragraf ini boleh diabaikan lagi)
Gak fokus ke Khao Kriap Waue nih!

Terlihat dari peta, stasiun BTS Ratchadewi tidak lagi jauh, hanya beberapa belokan. Kami perkirakan 1 km. Meleset! Kami berjalan hampir 2 km. Di jalan kami lihat banyak penjual mango sticky rice aka mangga ketan. Reza yang tak tahan hanya melihatnya, akhirnya membeli untuk dimakan nanti.

Siang menuju petang. Badan makin lusuh, muka makin kuyu. Betapa bahagia saat kami lihat tanda BTS dari kejauhan. Akhirnya penderitaan kaki kami segera berakhir. Seakan tidak kapok, saat naik BTS, bukannya kami pulang, tapi menuju stasiun BTS terjauh, Bangwa. Kami turun ke jalan di Bangwa. Tidak terlihat apapun yang menarik, kecuali beberapa gedung yang masih dalam proses pembangunan. Sepi, karena memang bukan kawasan wisata. Sambil makan mangga, dan memberi jeda untuk otot kaki, dua lelaki ini justru menggoda mbak-mbak yang sedang pulang kerja. Kami lebih mirip berandal gelandangan daripada turis. Mungkin kami lelah.

Saat itu, waktu masih menunjukkan pukul 7 malam. Mall masih buka dan jalur BTS pulang melewatinya. Sip! Kami masuk mall dan membeli beberapa potong kaos untuk oleh-oleh dengan penampilan tidak karuan. Beruntung, tidak disangka pengemis dan diusir. Huft.

Sesampainya di hotel, surga seolah berbentuk sebuah kasur. Kami memang lelah. Mendapat wifi, Reza iseng men-tracking rute jalan kaki siang tadi dengan google maps. Voila! Kami telah menempuh jarak lebih dari 8 km, belum termasuk menyeberang melalui jembatan penyeberangan yang panjang. Kami perkirakan total 10 km. Saya dan Erwin saling berpandangan dan mlongo lalu tertawa. Saya baru menyadari bahwa peta wisata yang kami bawa adalah tanpa skala. Bodoh!


Stupid decision makes stories, doesn’t it? Entah disengaja atau tidak, tidak ada salahnya untuk berpikir bodoh, karena justru itulah yang akan membuat kita bisa menertawai kebodohan kita sendiri dan belajar. Hehe.

Rabu, 18 Juni 2014

Surat Cinta untuk Singapura

Dear Singapura,

Apakah kamu pernah mendengar pepatah yang mengatakan bahwa rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau? Aku amini itu. Tempatku indah, namun apa yang kamu miliki pun menarik.

Aku masih ingat ketika aku mengunjungimu pertama kali. Aku memandangmu takjub. Bak seorang model, kamu rapi, terpoles, berhias dengan perhiasan dan asesoris yang menawan dan cantik, kamu memesona.
bagus ya?


Kata orang, kamu dingin. Sepertinya aku agak menyetujui pendapat mereka. Di saat aku bertanya ke salah satu/dua orang lokalmu, aku merasa tidak diacuhkan. Mungkin mereka terbiasa dengan kehidupan yang terlalu mandiri, ― hmmm, lebih tepatnya individualis. Jangan kawatir, ada negasi di baliknya, karena di dalam dinginmu, aku bisa menemukan kehangatan dan keramahan.

Kamu tahu, saat aku keluar dari bandara setelah pesawat yang aku naiki landing dan mencoba mencari tahu untuk menuju hostel di malam hari, aku menatap bingung pada rute MRTmu. Betapa beruntung karena aku bertemu seseorang dari Indonesia bernama David yang sudah bertahun-tahun hidup bersamamu. Dia mau membantu, menunjukkan dan menemaniku sampai ke hostel, sembari menyiratkan pesan bahwa kamu bukanlah tempat yang menakutkan bagi seseorang untuk berjalan di jam yang larut.

Terlebih, ketika aku berjalan menelusuri tiap sudutmu sendirian, kamu membuatku bertemu dan berteman ―hingga sekarang― dengan turis Italia bernama Simone yang ramah dan begitu menyukai kopi. Dia lebih dulu mengenalmu daripada aku. Pun dia bersedia menjadi guide dadakan untukku agar mengenalmu lebih.
words from Simone

Aku jatuh cinta terhadapmu karena kamu menghargai dan memberi tempat yang nyaman untuk pejalan kaki sepertiku. Aku menemui banyak sekali trotoar yang sangat teduh. Aku sangat menikmati waktu duduk di bangku tamanmu yang hijau. Tidak seperti tempatku yang dengan sedikit taman dan trotoar dengan banyaknya perampas hak-hak pejalan kaki dan membiarkan kendaraan bermotor berkuasa.
trotoar dan taman

Bagaikan langit dan bumi. Kamu punya banyak gedung modern, canggih, menjulang tinggi, dan cantik nan unik yang tidak bisa kujumpai di tempatku. Aku tampak kampungan saat mencoba berpose untuk berfoto dengan patung singa Merlion yang menjadi iconmu. Banyak orang melihatku yang penuh kehebohan. Memang, tak serupa tempatku yang banyak rumah biasa dan sawah atau kebun. Bahkan, Jakarta yang di sini dibilang metropolitan pun tidak bisa menyamaimu. Namun aku tak bisa memilih untuk lebih menyukai salah satu, karena semua memiliki pesona tersendiri.
behind the scene-nya sampe disangka orang gendeng

Pun, kamu sangat terampil merawat diri. Kamu pandai menjaga apa yang kamu miliki. Segala yang berhubungan dengan sejarah dan budaya membuatmu tetap memiliki jati diri sebagai semacam melting pot. Aku iri padamu. Di sini, sebenarnya aku punya jauh lebih banyak daripada yang kamu punya, tetapi, ah, sudahlah.

Dalam gelapnya malam, kamu tidak lelap tertidur, justru semakin gempita, cantik, dan liar. Aku memang tidak dapat melihat taburan bintang, namun aku bisa melihat bagaimana kamu bersinar dengan pertunjukkan tarian lampu yang berwarna-warni di tempat terbuka. Aku yang tak pernah melihat hal seperti itu, berdecak kagum.
MBS di malam hari

Tapi, tahukah kamu bahwa aku sedikit keberatan dengan tingginya price tag untuk banyak hal ditempatmu. Tapi tidaklah mengapa. Mungkin itu membuatmu eksklusif dan membuat orang-orang dari tempatku merasa memiliki prestis tersendiri ketika sudah mengunjungimu.

Ah, kini sudah dua tahun sejak pertama kali aku melihatmu. Aku tidak tahu apakah ada lagi yang berubah darimu. Aku yakin kamu bertambah menarik. Seandainya aku mempunyai kesempatan, aku pasti akan menemuimu lagi. 


*Mungkin kamu sedang membaca suratku ini diiringi suara Ari Lasso yang menyanyikan Kangen-nya* #yakaliajasih