Minggu, 30 Oktober 2016

Note from Flores (1)

02-10-16

Dear My Dude,

Ini adalah perjalanan yang disponsori oleh kantor. Aku dipaksa dianjurkan untuk memilih salah satu pulau selain Jawa dan Bali. Flores menjadi pilihan pertama. Dan dikabulkan untuk 9 hari melintasi Flores dimulai dari Kota Bima.  

Sekarang aku sudah sampai di Bima. Sungguh mendebarkan, semendebarkan waktu aku harus bilang “iya” ke kamu malam itu. Ihik. Beda ding. Kali ini semacam senam kardio, buat jantung sehat. 

Satu jam di dalam pesawat, headset kupasang, aku memandang keluar jendela -syukurlah aku bisa duduk di dekat jendela-, sambil menikmati pemandangan pulau-pulau kecil. *Pura-pura jadi model video klip lagu sendu seneng duit*. Dari atas, tanah Sumbawa terlihat gersang dibalut pasir putih di tepiannya. Semakin ke timur, lereng-lereng bukit seperti garis pada tanah. Saat pesawat terbang rendah, terlihat atap rumah penduduk warna-warni berdampingan dengan hamparan sawah. Tiba-tiba pesawat mulai bergoyang, bukan karena dangdut, tapi karena hujan. Aku yang sedari tadi bergumam bernyanyi, tiba-tiba terdiam, tanganku mencengkeram lengan kursi, namun tetap berpura-pura santai. Pesawat mendarat dengan tidak mulus, tapi syukurlah mendarat dengan selamat.


Ingin rasanya aku sujud syukur di bandara, tapi aku malu. 
Jadi aku hanya berfoto di depan papan nama bandara,
Sultan M. Salahuddin Bima

Setibanya di bandara, kami disambut gerimis tipis. Jalan utama dari bandara ke hotel di pusat kota melewati pesisir pantai. Tak banyak yang bisa dilakukan di Bima. Kotanya kecil. Aku menginap di hotel tengah kota, dekat pasar. Tapi tidak seramai pasar Beringharjo. Lebih ramai kicauan burung tetangga sebelah hotel daripada orang-orang. Sore itu, kami berkenalan dengan rombongan tamu dari Belanda yang sampai selesai perjalanan akan bersama-sama. Ugh, so cute la.

Jangan harap akan ada hiburan malam di sini. Hotel saja harus dapat giliran padam listrik. Seperti desaku dulu belum ada listrik lalu heboh saat listrik masuk desa. Jalanan sepi. Di pinggir pantai, ada beberapa warung lesehan berjejer. Tempat duduk ditata untuk dua orang dengan satu meja kecil menghadap ke laut. Remang-remang karena hanya ada lampu jalan yang menerangi. Terlihat beberapa pasang pelanggan dalam kegelapan. Aih... *nyanyi jagalah hati*

(bersambung ke keesokan harinya)