Selasa, 23 Desember 2014

Ucapan Hari Ibu


mother and daughter
Hari ini semua orang mengucapkan Selamat Hari Ibu di medsos, tak terkecuali saya. Entah di kehidupan nyata mereka benar-benar mengucapkannya kepada ibu mereka atau tidak. Aku sih no.

Seingat saya, saya hanya dua kali mengucapkan hari ibu. Saya tidak ingat kapan pertama kali saya mengucapkannya. Dua puluh dua Desember waktu itu, saya sedang berada di rumah dan bertepatan dengan hari libur. Ibu saya sedang tidak mengajar. Pagi itu, kami menghabiskan waktu berdua di depan tv menonton acara sampah dan gossip. Such a quality time.

Gossip pagi itu menampilkan seorang selebriti yang sedang memeluk ibunya, mengucapkan selamat hari ibu, lalu menciumnya. Bak sedang nonton film biru, saya merasa malu dan canggung dengan ibu saya yang duduk di samping saya. Pasalnya, setelah hampir seperempat abad (ini beberapa tahun lalu ya) ibu saya membesarkan saya, belum pernah sekalipun saya memberi ucapan serupa selebriti itu. Pun ada rasa malu karena selama itu, saya belum bisa membanggakan/membahagiakan beliau.

Jadi seketika tayangan itu berakhir, terjadilah momen awkward. Saya akhirnya mengucapkannya seraya mencium tangan beliau.

Dua puluh satu Desember, dua taun yang lalu, saya mendapat surel dari institusi beasiswa yang saya daftar sebelumnya, mengumumkan kelolosan wawancara beasiswa saya. Benar-benar momen ini masih membekas di hati saya yang paling dalam. Saya sungguh senang bahwa selangkah lagi saya akan bersekolah di luar negeri. Keesokan harinya, pukul delapan pagi, saya telepon ibu saya yang sedang berada di desa, dengan nada riang, saya mengucapkan selamat hari ibu dan mengabarkan berita bagus di hari yang dispesialkan itu. Entah bagaimana perasaan beliau saat itu. Saya hanya yakin bahwa setidaknya dengan saya bisa bersekolah di luar negeri akan membuat ibu saya bangga di depan rekan-rekannya. Siapa sih yang tidak senang dapat kesempatan emas seperti itu, apalagi wong ndeso seperti saya ini. Walaupun harapan itu akhirnya pupus. Saya gagal. Sepertinya karena sudah ada niat riya. Huvt.

Hari ini, saya hanya berkicau di twitter. Masih canggung dan malu. Lagi. Bahkan kepada ibu saya sendiri.
Sebenarnya dari dulu, di desa saya pada umumnya, dan keluarga saya pada khususnya, tidak terbiasa dan dibiasakan untuk memberi ucapan selamat. Kami sebenarnya ingin melakukannya atas nama kebahagiaan dan perhatian, hanya saja kami tidak terbiasa. Jadi kalau ada yang melakukannya mungkin akan terdengar aneh. Di desa saya lho ya. Saya tidak tahu dengan desa yang lain.

Kebahagian dan perhatian itu justru lebih ditunjukkan dengan perayaannya, seperti selametan dengan doa-doa dan makanan untuk bersama. Pun, hal seperti itu biasa untuk kelahiran dan kematian saja, sesuai kalender jawa pula. Untuk memperingati sesuatu berdasarkan kalender masehi sangat jarang, terlebih dengan hari-hari yang ditetapkan dalam skala nasional maupun internasional. #hasyah

Ucapan selamat yang sering saya dengar di kampung adalah “sugeng riyadi” di Hari Raya Idulfitri. Ya, cuma itu saja. Akan tetapi, bagaimanapun juga, walau tanpa ucapan itu pun, ibu saya (pada khususnya), yakin kalau saya menyayangi dan menghormati beliau. Pun dengan kata “sayang” ini, saya merasa lebay atau hmmm… ‘gay’ :p

Bahasa Jawa punya istilah sayang apa tidak sih, karena sepertinya “tresna” itu tidak tepat sasaran dan tepat guna dalam konteks seperti ini.

Hari ini, saya tidak memberi ucapan kepada beliau. Juga tidak ada kabar bahagia yang patut saya kabarkan untuk membahagiakan beliau. Mungkin ibu saya berdoa agar calon mantunya cepat datang ke rumah. Lah, sama buk. #hyakdesh *lalu pencak silat*.

*sungkem ibuk*