Selasa, 09 September 2014

Makhluk Manis dalam Kereta

Saya pinjam judul salah satu serial Lupus, 'Makhluk Manis dalam Bus' dari Hilman untuk mewakili curhat kali ini, yang berbeda hanya setting saja.  

Tiap kali naik kereta, belum pernah (dan berdoa agar) saya dan pasti juga kalian berhadapan atau duduk sesampingan dengan makhluk manis untuk sekadar pencuci mata. Sementara kali ini doa saya dikabulkan, tetapi saya malah menjadi kaum oportunis yang buruk. Jangankan bertukar nomor hp, bicara saja tidak sama sekali. 

Pukul 15.04, saya berlari masuk dari luar stasiun mengejar kereta menuju Surabaya yang berangkat satu menit berikutnya, berharap kereta terlambat seperti pada umumnya waktu yang berlaku di Indonesia. Tapi kereta tiba tepat waktu dan saya berdesakan dengan penumpang lain segera masuk mencari tempat duduk sesuai tiket.

Saya menemukan tempat duduk saya telah diisi pasutri (untung tidak tertangkap basah berbuat mesum). "Nomer berapa, Mbak?", tanya seorang lelaki yang duduk di depan kursi saya. "20D, Mas", jawab saya tanpa melihat wajahnya tetapi dengan menatap pasutri itu. Seketika mereka bersungut-sungut pindah ke kursinya sendiri. "Hello... This is my seat!", gitu sih kalau kata AGJ.

Tak ada lagi tempat tersisa untuk meletakkan carier (biar keren dibacanya) saya. Kini akhirnya saya menatap mas-mas itu untuk meminta ijin meletakkan carier saya di samping kakinya. Dia tersenyum simpul. Manisnya.. #eaaaa

Saya sibuk mencari posisi wenak sembari sedikit melirik-lirik manja
ke arahnya (Astaghfirulloh, imeh, jina, itu jina mata). Saya lihat dia sekarang justru menyumbat telinganya dengan headphone, sibuk dengan gadgetnya.

Sekitar setengah jam berlalu hanya dengan mencuri pandang. Tinggi badannya mungkin sekitar 170an cm. Badannya agak gempal. Penampilannya seperti traveler, backpacker, pejalan, dan sebangsanya. Badannya berbalut kemeja flanel kotak-kotak biru abu-abu sebagai luaran kaos Consina hitam. Celananya kargo warna cokelat terang selutut. Saya lirik ke bawah, sepatunya fantovel semi casual, entah apa namanya, saya bukan pengamat fesyen. Melingkar di tangan kanannya, jam tangan merk Fossil. Seketika saya iri dengan travel pouch warna cokelat army di pangkuannya dan day-pack yang bersandar di lengan kanannya yang kekar. Jadi, pilih nyender apa dipangku?

Dia melepas salah satu headphone-nya. Lampu hijau mulai menyala untuk membuka percakapan. Tapi tangan saya masih tetap sibuk mengetik dan berbincang dengan teman-teman melalui whatsapp. Pasti akan terlihat aneh jika tiba-tiba saya mengajaknya bicara. Wanita memang makhluk paling galau sejagad raya. *nguwel-uwel kemeja masnya*

Saya hanya sesekali menjadi paparazzi, dengan was-was kalau ketahuan, untuk tagihan teman yang saya ajak bergunjing di whatsapp.
 
Kereta kini tiba dan berhenti di Stasiun Madiun. Sinar matahari sore menerpa kulit coklatnya. Dan saya menikmati pemandangan ini. Tapi tiba-tiba dia berdiri meraih ranselnya, dan tersenyum. Gigi gingsulnya menghias senyumnya. Aduhai, manis sekali. Dia turun dari kereta meninggalkan senyum manis. Laaaaaaah, saya penonton kecewa. 

Dan kesempatan tidak datang dua kali (tapi tiga kali, empat kali, lima kali, dan lebih banyak kali lagi).

P.S.: Semoga masnya nggak baca. Nggak mungkin juga sih :D