Sabtu, 31 Januari 2015

MesaStila, Eskapisme ke Masa Lalu (Part III)


Belajar tentang Kopi dan Beragam Aktivitas

Saya membaca lagi jadwal aktivitas harian yang bisa dilakukan saat menginap di resort, yang telah diberikan oleh Mbak Mega sebelumnya. Manajemennya sangat kreatif dengan menyusun itinerary harian yang berbeda dengan bermacam-macam kegiatan unik untuk mengisi waktu selama tinggal di resort. Program kegiatannya untuk menjaga kesehatan dan mempertahankan budaya dan kesenian lokal. Ada penyajian jamu, yoga, tour kopi, kelas menari, kelas gamelan, kelas membuat kerajinan dari janur, jungle gym dan lain-lain. Bebas pilih yang mana.

Waktu menunjukkan pukul 9 pagi. Karena belum semua orang berkumpul, saya menyempatkan berjalan-jalan di sekitaran main office. Kaki dan mata saya pun berpetualang di sekeliling gedung. Di bagian depan, terdapat kolam air mancur kecil yang dinamai wishing pond, yang dilingkari oleh bunga lili hujan warna putih. Sungguh cantik. Ada pula Labyrinth, bebatuan yang telah disusun sedemikian menyerupai jalur labirin untuk ritual refleksi kaki. Di Labyrinth itu juga terdapat gong yang entah apa fungsinya, mungkin untuk ditabuh saat memulai ritual berjalan di labirin batu itu. Di sudut gedung terdapat balai kuno berhias kelambu putih yang melambai-lambai tertiup angin pagi. Halaman belakang dibuat menjadi arena catur raksasa. Di sampingnya, ada kursi taman yang cocok untuk santai sore.


biji caturnya nih, segede bayi!

Kini Mbak Mega memegang kendali tour dan memulainya dengan menceritakan kepada kami tentang sejarah MesaStila. “Dulunya, MesaStila merupakan perkebunan kopi milik seorang Belanda yang rumahnya kini menjadi Club House ini” kata Mbak Mega seraya menunjuk pada main office. Tak jauh berbeda dengan villa-villanya yang dibawa langsung dari beberapa daerah yang khas dengan bangunan dan furniture jawanya, seperti Kudus. Siapa sangka gedung paling depan yang difungsikan sebagai lobi dan reception merupakan bekas stasiun Mayong yang diambil juga dari Jepara, tanpa mengubah desain.  Saya yang baru tahu hanya manggut-manggut keheranan. 

Mau beli tiket ke mana, Kak?
Saat kami melangkah menuruni tangga dan memasuki kebun kopi, kami melihat biji kopi yang masih kecil dan hijau. “Iya Mbak, sayangnya musim panen sudah berlalu, biasanya di bulan Juli-September di tiap tahunnya. Pada masa panen itu, pengunjung boleh ikut memetik biji kopinya”, tutur Mbak Mega. Hmm, tapi sepertinya lebih lumayan untuk kerja serabutan. Dari 22 hektar luas MesaStila, separuhnya digunakan untuk kebun kopi, separuhnya lagi untuk fasilitas resort yang lain. Pantas saja staff-staff di sini terlihat ramping mempesona. Setiap hari jalan mengitari 11-22 hektar. Meeeeeeeeen!


Terdapat empat jenis kopi yang ditanam di kebun. Ada Robusta, Arabika, Ekselsa dan Andong (Jawa). Dari keempat jenis kopi tersebut, robustalah yang mendominasi perkebunan karena paling produktif, namun penanamannya banyak diokulasikan dengan Arabika. Sambil berjalan, Mbak Mega lantas memetik beberapa daun kopi untuk menjelaskan perbedaannya berdasarkan morfologi daunnya. Jenis kopi bisa dikenali berdasarkan lebar daun. Kalau saya tidak lupa, urutan jenis kopi dari daun yang paling kecil adalah Exelsa, Robusta, Arabika dan Andong (Jawa). TKKSK (tolong koreksi kalau saya keliru) ya. Cc: Mbak Mega.

ini lho yang namanya Mbak Mega
Jangan dikira 11 hektar hanya ditumbuhi kopi saja. Masih ada pohon durian, tanaman kecombrang, pohon randu, buah pepaya, alpukat, nanas, dan yang paling saya suka, pete. Semuanya organik. Kami melewati kandang kambing yang kotorannya diolah menjadi kompos. Jadi, makanan di restoran dapat diketahui berasal dari mana. Hehe. Ga semua juga kali ya.

Perjalanan berhenti saat kami sampai pada sebuah pondok kayu di mana proses pengolahan biji kopi dilakukan. Ada mesin pengering biji kopi yang masih menggunakan bahan bakar kayu. Di luar pondok, terdapat lahan untuk penjemurannya. Untuk menjadikannya menjadi kopi bubuk, alat gilingnya masih tradisional pula. Pengunjung boleh memutar tuas penggilingnya lho. Bebas.
gilingan cyin!

Tak hanya itu, saat istirahat setelah mengelilingi kebun kopi, kami mendapat suguhan biji kopi. *berubah jadi luwak*. Biji kopinya dihidangkan dengan gula jawa yang dimakan secara bersamaan. Rasanya seperti kopi. Luar biasa. Lebih tepatnya seperti permen kopi. Dan sebenarnya, membuat ketagihan. Sambil berbincang, senda gurau, kami menikmati pemandangan pepohonan yang sedang diguyur hujan dari pondok kopi.
Icip-icip kopi bakar
gelas dan pengaduknya, dong!

Sebenarnya kami masih akan diajak melihat kebun sayur dan buah, dan melewati kandang kuda. Namun sayang, hujan sepertinya tidak akan mereda dalam waktu singkat. Kami memilih kembali ke villa. Sementara rombongan Mbak Ani rapat, saya menikmati siang yang hujan di kamar. Dingin nan syahdu.

Sekian.

Kamis, 29 Januari 2015

MesaStila, Eskapisme ke Masa Lalu (Part II)



Makan Sehat a la JavaRed dan JavaGreen

Malam kian dingin. Saya rasa orang pribumi seperti saya ini tidak perlu menyalakan AC saat tidur. Pagi itu, kami berharap bisa menyaksikan sunrise dari balik Gunung Andong. Saya tengok jendala, sedikit mendung. Saya menarik selimut kembali beberapa menit hingga akhirnya saya benar-benar terbangun saat mendung beranjak pudar.

Saya mengenakan sandal hotel, lalu berjingkat keluar villa. Di kanan kiri jalur paving, titik-titik embun masih menempel pada rerumputan, pun pada sarang laba-laba yang terajut di antara tanaman bunga alamanda. Suara burung berkicauan sana sini. Bunga-bunga terlihat mekar dan segar. Sinar matahari menerobos celah ranting pepohonan yang tinggi. Ada sapa pagi dari beberapa pekerja kebun yang saya temui sedang menata dan membersihkan taman sekitar villa. Saya menarik napas dalam-dalam. Pagi yang indah dan damai.
 




Tanpa mandi pagi, saya dan Mbak Ani menuju restoran JavaRed yang berada di depan kolam renang dan berhadapan langsung dengan perbukitan. Bak melakukan santap pagi di kebun. 


Penyambutan dari JavaRed berupa tawaran jamu dari seorang ibu paruh baya. Ada kunir asem, beras kencur, sambiroto, dan lain-lain pokoknya. Sayangnya jamu pelangsing tubuh kilat khusus tidak ada. Seorang chef berdiri di sebuah stand dengan beberapa bahan makanan dan peralatan masak, saya pikir pagi itu ada demo memasak. Ternyata chefnya memasak omelet secara live. Mohon dimaklumi, saya memang ndeso

Minumnya juga tidak sembarang minuman. Selain jus buah, ada susu kedelai, ada pula rice milk, aka tajin. Anak kampung tahun 90an dan sebelumnya pasti familiar dengan minuman legendaris yang terbuat dari air beras saat menanak nasi. Such a heritage cuisine!
 
tajin
Table manner telah disiapkan untuk makan siang di restoran JavaGreen yang serupa pendopo berhiaskan pernak-pernik, gerabah dan mebel khas Jawa. Menurut saya tata cara makan cantik seperti ini tidak bisa membuat saya makan nikmat, senikmat di warung burjo di mana saya bebas bergaya dengan jegang, mengangkat salah satu kaki kita di kursi. Tapi namanya juga restoran resort. Hehe.


mind the manner
Tak semua makanan untuk table manner adalah olahan a la internasional. Namun hampir semua makanan yang tersaji merupakan hasil kebun organik yang dikelola sendiri oleh pihak resort. So, dijamin sehat. 

*Lalu jarum timbangan bergeser ke arah kanan saat pulang kembali ke Solo* #Kakehanmanganenak
appetizer

soup
main course
dessert

P.S: Kualitas gambar tergantung pada jenis kamera yang digunakan. Hehe

Jumat, 23 Januari 2015

MesaStila, Eskapisme ke Masa Lalu (Part I)

Gerimis tipis, udara dingin, dan seorang lelaki tersenyum menyambut kami –saya dan Mbak Ani, saat kami turun dari mobil. Segera saya mengancingkan hem korduroi merah maroon saya untuk menghalau dinginnya sore itu di MesaStila Resort & Spa yang letaknya terkurung oleh delapan gunung; Merbabu, Merapi, Andong, Ungaran, Sindoro, Sumbing, Telomoyo, dan Prau. Mungkin karena secara geografis terletak di pinggiran Magelang, Losari, orang asli Magelang sendiri banyak yang tidak tahu menahu keberadaannya.

Setelah melakukan konfirmasi, lelaki itu mengantar kami sambil bercerita sedikit mengenai resort, menuju main office yang tak jauh dari reception.
main office. Foto by Mesastila
Seorang perempuan berkebaya warna kuning memperkenalkan diri dengan ramah. Namanya Mega. Cantik dan luwes. Sementara Mbak Mega mengurus proses check in, kami dipersilakan duduk dan disuguhi welcome drink, kalau saya tidak lupa, sih, jahe kencur, segar namun hangat. Mereka tahu betul apa yang kami butuhkan, walaupun tidak semua orang suka, termasuk Mbak Ani. 

selamat datang di Mesastila

Sambil duduk menyeruput jahe, saya mengamati interior bangunan main office yang bergaya Belanda ini. Tiangnya besar, pintunya sangat lebar dan tinggi, temboknya tebal dan bercat putih, dan lantainya keramik kuno. Hiasan natal menempel di tiap sudut bangunan.

mendekati Natal

Mbak Ani memesan tiga villa untuk rombongan rapatnya selama 5 hari 4 malam–kebetulan peran saya waktu itu hanya sebagai konsultan atau tukang pemberi rekomendasi hotel tempat rapat Mbak Ani dan para pejuang kesehatan lain di PMI. Kami datang paling awal, kami sesuka hati boleh memilih yang mana yang akan kami tempati. Ihik.

Arsitektur Jawa Kuno

Kami berjalan sekitar 10 menit menuju villa sambil ngobrol dengan Mbak Mega yang ramah, murah senyum, baik hati dan tidak sombong. Villa Ambar yang kami tempati merupakan villa yang terbesar di antara ketiganya. Terlihat dari luar, villa berbentuk joglo namun memiliki dua lantai, balkon, dan teras berpagar kayu. Lantai bawah didesain untuk rapat dan lantai atas untuk dua kamar tidur yang super luas. Lantai kamar terbuat dari kayu, sehingga setiap kali saya berjalan, membuat suara kayu bergesekan dan bisa didengar dari lantai bawah.

Villa ini memakai pasak dari kayu untuk menyatukan tiang dengan kayu penyangga atap, persis seperti rumah saya di desa yang perkembangannya 10 tahun lebih lambat dari desa di kota lain pada umumnya.


Pintu balkonnya juga klasik karena ada semacam ukiran seperti gebyok, partisi penyekat antar ruangan, di bagian atas dan dibuka dengan cara digeser. Rupanya tiga kursi santai sudah menunggu kami. Berbaring di kursi sambil menikmati rimbun pepohonan dan panorama bukit di sore hari dengan secangkir kopi hangat. Nikmat tuhan mana yang kau dustakan wahai manusia? Alhamdulillah, subhanalloh, masyaalloh, sempurna. Namun tidak untuk ngobrol santai di malam hari, karena udaranya akan kian dingin.

santai kayak di gunung

Kalau mau, kami bisa menyalakan lilin aroma terapi yang terdapat di beberapa sudut ruangan karena aroma kayu menyeruak kuat di seluruh penjuru ruangan. Terdapat lukisan penari bali, orang jaman dulu, buah-buahan, dan makhluk hidup lainnya di dinding villa. Semua fasilitas kamar yang berbahan kain berwarna putih. Kesannya bersih sekali. Saya suka sekali.

the aromatherapy


Mandi pun Terasa Menyenangkan

Panas setahun dihapus hujan sehari. Setelah dua hari  badan saya tak terbasuh air, kecuali mulut dan muka –hehe, karena air di kos sedang berbau comberan, akhirnya saya mendapatkan kesempatan mandi mewah di jacuzzi. Kran air saya nyalakan, suhu air saya atur sesuai dengan kemampuan tubuh, lalu saya masukkan kelopak bunga  mawar yang sudah disiapkan. Lilin aroma terapi pun saya nyalakan untuk menambah suasana romantis. (Laaaah, sama siapa Meh?) 

Ini kali pertama saya merasakan sensasi mandi air hangat bertabur kelopak bunga mawar di Jacuzzi tengah malam. *nyanyi mandi kembang tengah malam*. Aiiih. Lelah, letih, lesu, lunglai, dan lemas seolah sirna seketika berendam lebih dari setengah jam. Daki pun ikut luntur dari kulit. 

jakusi kapasitas dua orang. #eaaa

“Lu nggak ketiduran di situ kan Meh?” teriakan Mbak Ani dari ruang teve menyadarkan saya untuk segera beranjak sebelum saya mbedodog mateng dalam air hangat. Hehe.

Di kamar sebelah, pengalaman mandi lebih luar biasa, mengembalikan memori masa kecil saat mandi di sumur umum. Dinding kayunya hanya menutup hingga batas leher, agar mata bisa menikmati pemandangan luar rumah dan tubuh merasakan sentuhan angin sepoi-sepoi selagi mandi.  Terlebih, saat mandi keramas dengan siraman shower membuat saya merasa seperti menjadi Marimar. Ah, pasti ingat dong scene ini. Oops. Wangi shampoo dan sabunnya beraroma bunga kenanga. Lagi-lagi saya suka sekali. Serasa menyatu dengan alam. Untungnya sih, tidak ada tokek. Bisa keluar kamar mandi tanpa ... *to be continued di part II*

Kamis, 15 Januari 2015

Mengintip Dapur Soto Gading


"Lagi ke Solo nih, min. Mau wisata kuliner. Yang enak buat siang-siang gini apa ya min?", sebuah twit yang sering mensyen akun twitter keren (#eaaa) yang saya kelola. Dengan sigap saya menjawabnya, "Bisa yang seger-seger di Timlo Sastro, Selat Vien, atau Soto Gading, Kak". Maklum, sebagai admin kita harus sok menguasai apa bidang kita. Ingat, sok menguasai. Hehe.


Sembilan tahun hidup di Solo, saya belum pernah mencicipi Soto Gading, makanan hits Solo, tetapi selalu sok tahu dan merekomendasikan untuk pendatang atau turis. Lalu biarlah ini menjadi rahasia kita. Ngahaha.

Namun akhirnya, sebuah siang beberapa minggu lalu saya memberanikan diri membelokkan stang motor saya ke parkiran Soto Gading. Saya bertandang untuk mencari tahu jawaban atas pertanyaan saya sendiri "Kok bisa sebuah warung soto tidak pernah sepi, -kecuali sedang tutup- dan didatangi orang sangar, termasuk pejabat dan artis? Seenak apa sih?"

Dewi fortuna berpihak pada saya dengan memberikan tempat duduk pojok, menghadap jendela dapur dan dekat pintu menuju toilet. Hmmm..

Sotonya datang. Rasanya lumayan, walaupun ternyata tidak se-wah yang saya bayangkan. Tampilannya pun sederhana. Masih belum terjawab pertanyaan saya. Tehnya enak, nasgitel (panas, legi, kenthel). Side dish yang tersaji banyak sekali; sate brutu, sate telur puyuh, paru goreng, tempe goreng, tahu & telur bacem, sosis solo, aneka krupuk, dan ah, masih banyak lagi, -malas sebut satu-satu.



sate brutu berbentuk hati <3

Mungkinkah karena cara masaknya yang unik, yang masih pakai tungku dan peralatan tradisional? Entahlah. Saya tidak mengerti. Pertanyaan saya masih belum terjawab.

Masak air pakai anglo

Mama chef dan sebuah tungku

seperangkat alat dapur