Kamis, 17 Desember 2015

The Perks of Not Taking Pictures


Foto inspeksi hotel

Saya penggemar dunia fotografi. Saya suka memotret sesuatu di mana saja dengan kamera kualitas rendah atau kamera ponsel saja, bukan dengan kamera slr yang lensanya semacam termos air panas itu. Saya hanya menyukai bagaimana sesuatu terlihat cantik dan menarik ketika dipotret.


Namun saya bukan tipe seseorang yang menyukai kegiatan selfie. Saya lebih suka berkegiatan yang lebih berguna untuk masyarakat dan sekitarnya demi menyelamatkan hajat hidup orang banyak. Halah. Hehe. Mungkin iya, dulu saya suka selfie waktu saya awal memiliki hp kamera, walaupun dengan kamera kualitas vga, dilanjutkan dengan piksel yang agak lebih besar sedikit (frase nggak efektif banget ya).

Keinginan berfoto untuk mengabadikan sebuah kejadian atau tempat yang dikunjungi memang besar bagi semua orang, termasuk saya. Tapi akhir-akhir ini saya tidak merasakan hasrat ini. Beberapa minggu yang lalu, saya pergi traveling (tsah) ke Gili Trawangan, untuk acara kantor sih. Mihihi, yang penting temanya jalan-jalan. Apa yang biasanya dibawa orang waktu jalan-jalan? Kamera nomer satu, buat yang punya. Kalau nggak punya, ya powerbank, to keep the phone always ready steady go to take selfies.

Walaupun saya membawa serta kamera milik kantor, tapi sewaktu jalan menikmati suasana gili di sore hari, saya lebih memilih meninggalkannya di kamar hotel. Saya hanya menggunakannya untuk hotel inspection.

Menjelang matahari tenggelam, seluruh staff kantor diminta untuk dinner tepi pantai. Pantai depan hotel sudah dipenuhi orang untuk berfoto, sedangkan saya hanya duduk menikmati senja yang tersaji di depan mata sambil sedikit berbincang, - lebih tepatnya bercanda - dengan kolega (halah) dan lebih banyak mengunyah makanan (emang pada dasarnya rakus sih, hehe). Kalau ada kamera hendak memfoto ya tinggal senyum.

Pun saat kantor mengadakan pesta akhir tahun di sebuah restoran cantik bernuansa kebun yang instagramable, saya lebih suka mendengarkan pembawa acara, joget di bawah naungan music ajeb-ajeb tahun 80an, bercanda, atau makan lagi. Muehehe.


Saya memang suka jika semua momen itu terekam dalam foto dan membagikannya (memamerkan betapa menyenangkan sore/malam itu) di social media saya sendiri. Tapi saya selalu membutuhkan waktu untuk edit foto terlebih dulu sebelum mempostingnya, yang mana waktu yang bisa saya gunakan untuk
makan berbagi tawa dengan orang-orang di sekitar saya bisa terbuang.

Picture says louder than words. It is true indeed. But when a picture has gone, what else to tell other than what’s left on your memory?


Jadi saya lebih memilih to live the moment, rather than live the picture. Atau hanya karena saya ndak punya kamera bagus ya?! Wkwkwk 

Sabtu, 19 September 2015

Wanita




Waktu saya masih kecil, entah berapa tepatnya usia saya waktu itu, mungkin dibawah 10 tahun, simbah kakung saya dulu pernah berkata bahwa “wanita itu wani ditata” yang artinya berani untuk ditata. Beliau melanjutkan bahwa wanita harus berani untuk dikontrol segala perilakunya. Wanita harus mempunyai batasan terhadap setiap tindakannya.
Feminis jelas tidak akan setuju.
Memang kita mempunyai ketentuan tidak tertulis tentang wanita yang baik. Wanita yang baik adalah seorang yang lemah lembut, penyayang, teratur tutur perkataannya, dan semua yang dianggap baik. Wanita dianggap urakan bila tertawa terbahak-bahak di depan umum tanpa menutup mulutnya. Mereka dianggap tidak sopan bila ini, itu, inu, anu, yang tidak sesuai dengan norma yang ada. Apalagi melakukan hal-hal seperti minum alkohol, merokok, dan lain sebagainya.
Memang tidak ada yang salah sih dengan semua sifat budi luhur itu. Lha wong itu semua perbuatan terpuji yang berguna untuk kehidupan bermasyarakat kita yang komunal. Tapi mungkin terdengar tidak adil bila dibandingkan dengan laki-laki yang melakukan itu semua. Laki-laki tidak akan dianggap urakan bila tertawa tidak menutup mulutnya. Justru malah mungkin dianggap lelaki lembek jika melakukan sebaliknya. Ya ndak sih?
Setiap tindakan yang diambil oleh wanita seolah-olah terbatasi, ndak boleh sak enake udele dewe.
Sedikit melebar, tak hanya ditata, wanita juga dipilih, dikejar dan menunggu, dan memberi jawaban. Contohnya, dalam kehidupan percintaan antar manusia. Apakah mereka tidak berhak memilih, mengejar, mengajukan pertanyaan. Dengan sudah adanya persamaan hak yang diperjuangkan para feminis, mungkin tidak perlu dipertanyakan lagi. Masalahnya adalah, pola pikir kita sudah terlanjur terbentuk bahwa wanita tidak boleh mendahului laki-laki. Mereka harus menunggu. Mengejar akan dicap agresif. Wanita agresif juga dianggap tidak baik. Ya ndak? Kalau isu yang ini, pola pikir saya juga masih begini sih.
So, where should I stand? Entahlah, saya masih di tengah-tengah. Berusaha menjadi manusia yang baik dulu lah saya. Memperlakukan orang dengan baik karena saya juga ingin diperlakukan dengan baik oleh orang lain. 

Sabtu, 11 Juli 2015

A New Way in Having Fun

Time flies when we're having fun

In February, I left my previous city, Surakarta and moved to another one, Yogyakarta for my new employment. These cities and everything in it; the people, the culture, the atmosphere, and rhythm of life are alike, so I don't need to adapt all the way of living.

Before my best friend/co worker/house mate/partner in crime found a fully furnished house and rent it for us, we lived in a boring boarding house that we had to be back before 9 pm, and that we couldn't stand any longer than a month. Our recent house is in a tight and quiet neighborhood. Yet it is noisy as well (because of us singing and laughing so hard while our door are open).

We were on this one point that we didn't know what to do together to any further extent. We work in the same office, we live in the same house, we have small side business together, we hang out together, we even think about the same thing at the same time and we know it just by a blink of an eye without even saying a word. And thank god, we don't have the same man to date with. Bored. Yes, we were.

Because she's a crazy fan and a member of Couchsurfing, a travellers community around the world, she came up with an idea to open our lovely house for hosting travellers. I couldn't agree more even though I was not a member of it yet. Well, I've knowing it for quite a long. I even met her on one of its meeting in 2011. Still, for several years I've been hanging out with many people from CS, I didn't sign up yet.

We have a living room, an open space kitchen, two rooms and two bathroom which are already more than perfect for two of us. We thought we can spare a room for more person to live with for several days.

We started hosting travellers since the beginning of March, as our house was already clean and neat to live in. Yes. It was horribly dirty, messy and ratty because it was abandoned for a year.

During my (she had it long before me) first experience, I had this expertise on awkwardness. They were strangers and it's a big effort for me to open a conversation since I had to think twice of what to say and how to say. *giggle*. Yet, it also challenged me to speak because my spoken English is barely perfect, kind of broken here and there, and unlike my house mate who was born and raised with it and even British accent so smoothly.

Every time I hosted some travellers, they told me to sign up. It was my house mate who had had enough of the request for me to sign up. Then, in the beginning of June, she made an account for me and filled it a bit. I was officially a member of this huge travellers community. Hehe.

Once, we had an awful couple that made us pause to welcome any traveller at our house. But hey, it made us bored even more. We could opt them out. She always asks me when someone requests a stay.

Some people use CS as a way to get a free accommodation during their travels. Nah, I don't like those detected free-loader. Her neither. There ain't no such thing as free lunch. It's not with the money they to pay, but time to share with us.

I and my house mate usually take them to places we love to hang out to eat, drink or merely spend a pointless sleepless night. It could be having dinner in food stalls, sipping a cup of coffee in a coffee shop, drinking beers in a bar, smoking shisha in a pub, strolling along the city square, getting wild at a karaoke room, cooking one's specialties in our kitchen, or listening to each other's stories while sitting on our couch. We try having super fun everywhere and create great moment of new friendship from being total strangers.

I can take a silver lining from this stuff. It's a medium for me to meet people with different cultures and practice how to hang out with people and build friendship with those strangers. And I am so far so good with it. We write our stories about the people we hosted here as well.

For me, I'm having my time with a hard fun before I meet my future husband. *dance*

P.S. CS has been existing for so long. And I know it's a bit late to join and write about it, but it's better than no have fun at all, no? *sing*

Kamis, 26 Maret 2015

Kerja




“Pagi ini kita ngapain?” tanya saya kepada teman sekantor.
“Fesbukan ae”, balasnya.
“Halah”

Dialog seperti itu sering saya lontarkan akhir-akhir ini. Selain karena tugas untuk bulan ini sudah terselesaikan semua, bagian operasional bilang memang sedang tidak ramai bookingan. Alhasil, kami banyak melongo di kantor.

Bekerja di bidang pariwisata memang layaknya petani. Ada kalanya musim tanam, ada kalanya musim panen. Bulan ini harusnya masuk masa tanam untuk para wisatawan yang booking untuk masa panen di musim panas pertengahan tahun untuk belahan bumi yang lain.

Harusnya juga, masa tanam yang kosong dan lama ini saya bisa memupuk otak saya yang mulai kering dan meranggas. Tapi nampaknya memang saya bukan tipe orang yang penuh dengan ide kreatif dan inovatif. Saya lebih suka menunggu perintah dari Pak Bos.

Bukan merupakan sebuah pembenaran, tetapi yang namanya tipe manusia kan ada banyak. Terlebih untuk pekerjaan. Tidaklah mungkin semua orang mempunyai kompetensi untuk memimpin. Tidak semua orang memiliki kompetensi untuk membuat ide marketing. Sudah ada bagiannya sendiri-sendiri lah. Kalau kata temen saya yang Londo, "don't be so hard on yourself".

Tapi juga itu merupakan pilihan sih.  Yang jelas saya mau ngerjain pekerjaan saya saat ini, mikir kerjaan saya yang lagi nggak ada kerjaan. Muehehe. Mangap Pak Bos.

Selasa, 17 Maret 2015

Wisata Desa Bukan Desa Wisata



Sawah menghijau terhampar luas berlatarbelakangkan gunung Merapi dan Merbabu, rombongan biri-biri sedang digembala seorang lelaki tua, beberapa burung blekok hinggap di pematang sawah dan kami berkendara sambil menikmati pemandangan ala desa tersebut menuju salah satu desa di Sentolo, Kulon Progo. 

Sesampainya di tempat yang kami tuju, kami disambut lelaki berambut gondrong dengan senyum sumringah. Sebut saja Mas Towil. Tak ada basa basi yang lama, Mas Towil langsung mempersilakan kami untuk memilih sepeda onthel yang kami mau. Yap. Kami akan berkeliling desa dengan sepeda onthel klasik. 

Sudah lama sekali saya tidak menggenjot pedal sepeda tua seperti ini. Terakhir waktu saya masih ngelap ingus di bangku SD. Beneran. Saya belajar nunggang sepeda onta milik bapak saya. Kini sepeda itu entah di mana, bisa jadi sudah menjadi milik Mas Towil ini atau justru barangkali yang saya naiki ini. Hmmm… Tuhan yang tahu. 

Sebelumnya, Mas Towil sudah memberi gambaran tentang wisata desa yang akan dia pandu. Jika kami beruntung, kami akan bertemu dengan orang-orang dengan mata pencaharian yang bermacam-macam. Nanti juga akan disinggahi. Jika beruntung lho. 

Kami mengayuh sepeda keluar dari rumah Mas Towil menyusuri jalan kampung. Tak terlalu mulus sih, hanya saja rindang karena masih banyak pepohonan di sekitar rumah. Beberapa kali kami melewati jalan yang dilalui rel kereta api. Jika sedang membawa turis dan kebetulan akan ada kereta api yang lewat, mereka akan berhenti sejenak dan Mas Towil bercerita tentang rel yang dibuat pada masa kolonial Belanda. 


Perjalanan berlanjut dengan bersepeda di tepian kanal. Jalan yang dilalui adalah jalan setapak yang terlihat becek sehabis hujan. Belum lagi banyak kambing yang sedang main gundu di sekitaran pinggir kanal. Makin sempit jalannya. Saya kan jadi jiper. Saya takut kalau tiba-tiba ban sepeda saya iseng lari ke kanal.


Akhirnya Mas Towil berhenti dan mengajak kami mampir ke sebuah rumah. Duduk di teras seorang nenek yang sudah sangat sepuh. Melihat Mas Towil, beliau langsung memeluk erat seolah-olah Mas Towil adalah Bang Toyib. Beliau adalah Mbah Semi. Seperti namanya, Mbah Semi ini, terus bersemi walaupun usianya sudah berkepala tujuh. Beliau adalah seorang pengrajin/penenun semacam tikar, tapi bukan tikar yang terbuat dari semacam daun pandan kering. Ah, saya lupa namanya. Maaf. Mbah Semi adalah seorang yang ramah, tertawanya pun renyah. Pokoknya menyenangkan.

Makin jauh sepeda kami kayuh dan melewati persawahan lagi, kami mampir di rumah, sebut saja (lagi) Bu Sari. Beliau menenun stagen. Ngomong-ngomong tentang stagen, saya langsung melihat perut, soalnya, stagen itu kain panjang buat ngurusin perut itu lho. Sambil mencomot utri yang ada di meja makan, (ketela parut yang dikukus dan di tengahnya ada gula jawa) -karena sudah dipersilakan- saya mendengarkan Bu Sari bercerita bahwa beliau hanya menenun untuk 5 meter kain stagen sebanyak 2 buah dan sebuahnya diupah lima ribu rupiah. Tapi itu hanya sambilan saja, karena bertani masih menjadi tumpuan hidupnya. 

Pun, kami berhenti sejenak di sebuah jembatan irigasi yang dipakai untuk pengairan di sawah-sawah sekitar. Selanjutnya, kami ditunjukkan gubug di pinggir jalan yang biasanya digunakan untuk rehat turis-turis saat bersepeda. 

Kami juga diajak melihat budidaya jamur tiram dan jamur merang. Sayangnya, tidak ada jamur bahagia. Eh. Pemberhentian selanjutnya adalah di tempat pembuatan ketupat yang seharinya bisa membuat seribu buah. Andai saja membuat ketupat mempunyai mitos seperti membuat paper cranes, mereka sudah punya apa saja yang mereka mau. Hehe. Masih ada juga pembuatan tempe dan tas dari daun pandan yang kita singgahi. Sungguh desa-desa multi-home-industry. 

Mas Towil ini memang “seseorang”, karena beliau yang memperkenalkan desa dan membawa banyak turis untuk mengenal desanya. Saya juga sebenarnya orang desa. Desa saya pun tak jauh beda dengan apa yang saya lihat tadi. Sawah luas, banyak orang yang memelihara hewan ternak dan digembala, masih ada rumah dari papan kayu, ada kanal pula, kali pun dekat. Bedanya, jalan di desa saya membuat orang ingat dengan penciptaNya karena setiap orang yang melalu, pasti istighfar. Bedanya lagi adalah di saya. Saya tidak pernah srawung aka bersosialisasi. Pulang kampung saja jarang. 

Hari semakin sore, kami bersepeda kembali menuju Mas Towil. Sambil mengayuh sepeda, Mas Towil menegur ibu-ibu yang sedang mencabuti gulma di sawah. Tak hanya sekali dua kali, setiap berpapasan dengan orang, Mas Towil selalu menyapa, atau setidaknya berkata permisi. Semua orang yang kami jumpai dan kami sapa, menyahut sapaan kami dengan suara yang riang. Damainya. Wahai.


P.S. beberapa foto personel lengkap, diambil oleh Mas Towil.

Jumat, 13 Februari 2015

Masa Orientasi di Jogja

Saya di Jogja
Akhir Januari saya akhirnya memutuskan untuk resign dari pekerjaan saya sebelumnya dan mengambil kesempatan lain. Awal Februari saya resmi mengadu nasib di Jogjakarta.

Satu bulan pertama saya rasa akan masih terasa menyenangkan karena masih dalam proses adaptasi dan orientasi di tempat yang baru. Tekanan pekerjaan belum terasa dan masih berkenalan dengan hiruk pikuk kota Jogja.

Setiap pagi saya melewati gang yang sama, jalan yang sama, melihat keramaian di simpang Tugu, tak jarang juga terjebak di antrean panjang lampu merah Pojok Beteng Wetan.

Suara lalu lalang kendaraan selalu terdengar dari lantai 2 kantorku. Bising. Tapi tak apa, toh pekerjaan belum terlalu menumpuk. Saya tak merasa terganggu. Di tiap satu jam menuju jam pulang kantor *ciye, kantoran ciye*, saya dan teman sekantor selalu sibuk memikirkan kemana akan makan. Naaah, I bet you all do this. Bukan hanya memikirkan, tapi mencari di internet. Kurang selo apalagi kami.

Mumpung pekerjaan belum banyak, seperti kata Pak Bos, satu bulan ini adalah bulan orientasi sebagai kesempatan mengeksplorasi dan mengenal potensi wisata kuliner kota Jogjakarta. Halah.

Saking selonya, hujan pun kadang kita terjang, selamat badan tak malas. He he. Untungnya, teman-teman selalu tak keberatan untuk sekedar berkendara mencari tempat makan sekaligus nongkrong yang sedang hits di kalangan anak muda kota Jogja demi check in di path atau upload menu makan malam di Instagram. Hazeiks.

Salah satu teman asli Jogja yang selama 22 taun hidup di Jogja pantas kami jadikan tour leader sekaligus tour guide untuk orientasi kota ini. Kehidupannya sebagai anak muda yang eksis dan gaul memang tak perlu dipertanyakan karena tak sedikit tempat nongkrong di Jogja dia khatamkan.

Mau makan apa? Dia siap membawamu. Dia memang super sekali, sesuper orang Jogja lainnya yang membuat tempat nongkrong di segala penjuru kota, bahkan di gang kecil perumahan padat penduduk ataupun tengah sawah yang jauh dari jalanan kota yang ramai. Dahsyat memang. Saya masih nggumun. It's already 2 weeks and still counting. Tak tau kapan akan selesai.