Rabu, 18 Juni 2014

Surat Cinta untuk Singapura

Dear Singapura,

Apakah kamu pernah mendengar pepatah yang mengatakan bahwa rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau? Aku amini itu. Tempatku indah, namun apa yang kamu miliki pun menarik.

Aku masih ingat ketika aku mengunjungimu pertama kali. Aku memandangmu takjub. Bak seorang model, kamu rapi, terpoles, berhias dengan perhiasan dan asesoris yang menawan dan cantik, kamu memesona.
bagus ya?


Kata orang, kamu dingin. Sepertinya aku agak menyetujui pendapat mereka. Di saat aku bertanya ke salah satu/dua orang lokalmu, aku merasa tidak diacuhkan. Mungkin mereka terbiasa dengan kehidupan yang terlalu mandiri, ― hmmm, lebih tepatnya individualis. Jangan kawatir, ada negasi di baliknya, karena di dalam dinginmu, aku bisa menemukan kehangatan dan keramahan.

Kamu tahu, saat aku keluar dari bandara setelah pesawat yang aku naiki landing dan mencoba mencari tahu untuk menuju hostel di malam hari, aku menatap bingung pada rute MRTmu. Betapa beruntung karena aku bertemu seseorang dari Indonesia bernama David yang sudah bertahun-tahun hidup bersamamu. Dia mau membantu, menunjukkan dan menemaniku sampai ke hostel, sembari menyiratkan pesan bahwa kamu bukanlah tempat yang menakutkan bagi seseorang untuk berjalan di jam yang larut.

Terlebih, ketika aku berjalan menelusuri tiap sudutmu sendirian, kamu membuatku bertemu dan berteman ―hingga sekarang― dengan turis Italia bernama Simone yang ramah dan begitu menyukai kopi. Dia lebih dulu mengenalmu daripada aku. Pun dia bersedia menjadi guide dadakan untukku agar mengenalmu lebih.
words from Simone

Aku jatuh cinta terhadapmu karena kamu menghargai dan memberi tempat yang nyaman untuk pejalan kaki sepertiku. Aku menemui banyak sekali trotoar yang sangat teduh. Aku sangat menikmati waktu duduk di bangku tamanmu yang hijau. Tidak seperti tempatku yang dengan sedikit taman dan trotoar dengan banyaknya perampas hak-hak pejalan kaki dan membiarkan kendaraan bermotor berkuasa.
trotoar dan taman

Bagaikan langit dan bumi. Kamu punya banyak gedung modern, canggih, menjulang tinggi, dan cantik nan unik yang tidak bisa kujumpai di tempatku. Aku tampak kampungan saat mencoba berpose untuk berfoto dengan patung singa Merlion yang menjadi iconmu. Banyak orang melihatku yang penuh kehebohan. Memang, tak serupa tempatku yang banyak rumah biasa dan sawah atau kebun. Bahkan, Jakarta yang di sini dibilang metropolitan pun tidak bisa menyamaimu. Namun aku tak bisa memilih untuk lebih menyukai salah satu, karena semua memiliki pesona tersendiri.
behind the scene-nya sampe disangka orang gendeng

Pun, kamu sangat terampil merawat diri. Kamu pandai menjaga apa yang kamu miliki. Segala yang berhubungan dengan sejarah dan budaya membuatmu tetap memiliki jati diri sebagai semacam melting pot. Aku iri padamu. Di sini, sebenarnya aku punya jauh lebih banyak daripada yang kamu punya, tetapi, ah, sudahlah.

Dalam gelapnya malam, kamu tidak lelap tertidur, justru semakin gempita, cantik, dan liar. Aku memang tidak dapat melihat taburan bintang, namun aku bisa melihat bagaimana kamu bersinar dengan pertunjukkan tarian lampu yang berwarna-warni di tempat terbuka. Aku yang tak pernah melihat hal seperti itu, berdecak kagum.
MBS di malam hari

Tapi, tahukah kamu bahwa aku sedikit keberatan dengan tingginya price tag untuk banyak hal ditempatmu. Tapi tidaklah mengapa. Mungkin itu membuatmu eksklusif dan membuat orang-orang dari tempatku merasa memiliki prestis tersendiri ketika sudah mengunjungimu.

Ah, kini sudah dua tahun sejak pertama kali aku melihatmu. Aku tidak tahu apakah ada lagi yang berubah darimu. Aku yakin kamu bertambah menarik. Seandainya aku mempunyai kesempatan, aku pasti akan menemuimu lagi. 


*Mungkin kamu sedang membaca suratku ini diiringi suara Ari Lasso yang menyanyikan Kangen-nya* #yakaliajasih

Minggu, 08 Juni 2014

Menembus Kabut, Menuju Stumbu

Saya bukanlah morning person. Tapi jika dijanjikan sebuah sunrise yang memukau, pendirian saya akan mudah goyah. Dan kali ini adalah bukit Punthuk Setumbu, Magelang. Siapa kuat hati menolak?

Pukul 4, sebelum azan subuh, saya dan teman-teman harus melawan gaya gravitasi yang ditimbulkan oleh kasur tipis yang kami tiduri selama 2 jam. Segera saja kami membasuh muka dan menggosok gigi untuk membangunkan indera-indera kami. Tak ada waktu untuk bongkar muatan perut, walaupun terasa slemat-slemet, kata orang Jawa.

Kami berangkat dari rumah kawan di desa Tanjung, Magelang, menembus jalanan kecil nan mulus. Kendaraan terus melaju menembus gelap dan kabut nan pekat. Kawan saya menunjukkan landmark di kanan kiri jalan, tapi sama sekali tak terlihat karena jarak pandang hanya sekitar 5 meter saja. “Pokoknya saya terima sampai di tempat parkir saja, Mas,” seru saya.

Di parkiran yang tidak terlalu luas, sudah terdapat 2 elf panjang dan beberapa mobil. Ternyata tidak sesepi yang saya duga, justru sudah terkesan touristy.

Sekitar 500 meter trekking ringan,akhirnya kami sampai di puncak bukit. Berhubung postur tubuh saya yang agak mini tapi juga agak lebar, saya harus berdiri di atas bale-bale bambu doraemon *itu baling-baling* agar pemandangan tidak terbingkai oleh kepala-kepala bule.

Dan pagi itu, Tuhan Yang Maha Baik memperbolehkan kami melihat keagunganNya melalui kemegahan sang matahari yang diam-diam mengintip di balik punggung Merbabu dan Merapi. Borobudur yang semula terselimut kabut, saat itu pelan-pelan tersingkap dan mulai terlihat jelas julangan puncak stupanya. Saat menoleh ke arah yang berlawanan, terlihat perbukitan karst Menoreh. Saya terpukau sambil menahan hasrat kebelet. (Sebenarnya ada satu toilet di lokasi, namun antreannya buat makin nggak nahan).


Merbabu - mentari - Merapi
Majestic Borobudur
hasil manjat bale-bale
the pros

Ada sebuah benda yang membuat saya bertanya-tanya di bukit ini. Adalah sebuah potongan batang pohon yang setinggi kurang lebih 1 meter dan di atasnya terdapat papan melintang. Benda ini seperti tempat untuk meletakkan sesuatu.

Pertanyaan saya itupun terjawab saat matahari merangkak naik. Tersangkanya di bawah ini. Hehe
Konon adalah Bp. Sulaiman

Tidak ada maksud apa-apa. Waktu saya ketahui bahwa si kakek duduk membawa sabit sambil menghisap rokok, saya yakin, tempat itu adalah spot si kakek untuk berpose untuk berfoto. Kakek ini yang sempat saya cari-cari, karena selalu masuk di blog bersama Punthuk Stumbu. Ternyata punya tempat spesial untuk berfoto. Bagaimana tidak dia dijadikan objek fotografi, lha wong wajah, pose dan postur tubuhnya sangat fotojenik. Sebenarnya saya jual mahal untuk tidak memotret si kakek, tapi kawan saya terus menyuruh saya membuktikan bahwa saya bisa memotret. *ya bisalah, tinggal pencet tonbol shutter, haha. Nurut ngana?*. Tentunya si kakek pun begitu sadar kamera.

Jadi, tidak hanya bentang alam yang menakjubkan yang bisa dijadikan objek foto, tetapi juga si kakek yang selalu siap sedia nongkrong dengan rokok dan sabitnya. Okesip! *melipir ke toilet*.

Sabtu, 07 Juni 2014

Dieng; Manusia, Sikunir, Cebongan, dan Sampah

Hari itu merupakan hari terakhir bulan kelima dan hari terlalu sore saat saya dan 4 orang teman lain memutuskan untuk melepas kopling dan menginjak gas mobil dari Magelang. Ini kali pertama saya pergi ke dataran tinggi Dieng.

Meninggalkan Magelang dan Temanggung, kami memasuki area Parakan dan udara makin dingin saat kami membuka kaca mobil. Syal langsung melingkar di leher, sweater membungkus badan dan kupluk menutup kepala saya.Dari Parakan menuju Dieng, kami mengandalkan GPS sebagai pembimbing. Kami melewati lereng Gunung Sindoro. Jalan makin menyempit, menanjak, dan tidak menunjukkan adanya kehidupan manusia di sekitaran. Kami mulai meragukan arahan GPS. Saat hati kami bimbang, GPS akhirnya berkata “sinyal GPS hilang”. Jika ada lubang di jalan, mungkin mesin GPS pun tahu.

Kami teruskan hingga akhirnya bertemu dengan beberapa orang untuk kami tanyai. Petunjuk baru didapat, perjalanan dilanjutkan. Makin naik, jalan makin berantakan. Mobil tipe city car kami tampak kepayahan, bukan karena jalanan menanjak dan rusak, tapi karena berat badan lima manusia di dalamnya. Jadilah, mobil goyang dalam artian sebenarnya. Sayangnya sinyal radiopun tidak terdeteksi, karena sebenarnya kami mau sempurnakan dengan dangdut. Di luar begitu gelap, hingga kami bisa melongo menyaksikan bimasakti dan bintang-bintang yang sangat jelas dan berserakan di langit. Pemandangan di kanan kirinya mungkin juga memesona di saat terang.

Setelah selama satu jam tersiksa di jalanan biadab itu, akhirnya kami tiba di homestay dengan gigi gemerutuk. Entah berapa suhu malam itu, menginjak karpet saja bak menginjak es. Buru-buru saya menyabet celana panjang yang sudah saya pakai untuk menembus semak belukar di pagi harinya dan memakai kaos kaki. Walaupun bagian tubuh yang sensitive dingin sudah tertutup, tetap saja masih membuat hidung saya tak berhenti mengalirkan cairan kental nan bening. Iya, ingus. Dalam beberapa menit, kami meminum kopi dingin, dan mencicip mendoan beku yang sebelumnya datang dalam keadaan panas. Kami tak bertahan lama berjalan-jalan di luar.

Itinerary kami standar saja, seperti wisatawan pada umumnya. Kami harus mendaki Sikunir untuk sebuah momen matahari terbit. Antrean untuk parkiran begitu panjang, maklum hari libur. Petugas parkir tak cekatan mengarahkan pengendara mobil untuk parkir. Huft.

Tak ada kendala naik menaiki Sikunir selama 30 menit. Tapi di saat tiba di spot-spot sunrise, saya justru seolah melihat pasar. Memang ada penjual dan ada pembeli dengan kopi panas, mie cup dan snack sebagai barang komoditasnya. Walaupun begitu, saya tetap bisa menikmati pemandangan saat semburat oranye mulai menyeruak dari langit timur, memudarkan siluet dan menampakkan tekstur Sumbing, Prau, Merapi, Merbabu yang di sisi kanan.
Photoception
Syahdan, syahdu terasa, sebelum semua orang berteriak dan bertepuk meriah saat sang pusat tata surya terlihat menyembul dari balik pegunungan. Dalam hati saya bertanya, apakah mereka tak pernah menyaksikan proses matahari terbit sebelumnya? Mungkin mereka orang kota, orang sibuk, orang kurang piknik. Hmmm..
Sunrise Sikunir 
Sikunir makin terang. Matahari mulai menyorot kuat. Orang-orang mulai berjalan turun. Saya melirik ada botol minuman sengaja ditinggal. Saya pungut dan masukkan ke kantong plastik. Semakin mata saya berkeliaran ke kanan dan kiri, makin terlihat banyak tissue, plastik snack, gelas mie instan, botol minuman lain, bungkus permen, dan ragam sampah lainnya. Saat saya mengambili sampah itu, banyak yang memandangi saya. Tetapi saya tak mau menafsirkan pandangan itu. Saya hanya berpikir mereka (yang membuang sampah) mempunyai pikiran yang terbalik. Saat naik membawa bekal makanan/minuman yang isinya masih utuh pastinya lebih berat dibanding saat sudah tersisa bungkus/botolnya saja. Tapi mereka tetap enggan membawa turun dan membuang di tempat yang semestinya. Sepanjang perjalanan saya turun, saya mengumpulkan dua kantong plastik sampah. Manusia! Saya tidak habis pikir jalan pikiran mereka.
Jalanan macet vroh
Tiba di kaki bukit, kami mencoba melihat telaga Cebongan. Wuih! Sudah banyak doom, -kata seorang temen, dulu sedikit. Dan sampah. Hehe. Sudahlah. Aku kudu piye?
Telaga Cebongan
Sampah dong!

Jumat, 06 Juni 2014

Tentrem yang Adem

Sebenernya saya tidak terlalu suka dengan es krim, tapi kenapa saya menulis tentang es krim? Karena, ya ingin saja.

Saya membolak-balikkan buku menu yang agak usang dan akhirnya memesan es krim berjudul Horn Keranjang, tiga scoop es krim rasa coklat, stroberi, dan leci, dengan garnish astor dan siraman coklat cair nan tipis. Saat suapan pertama masuk ke dalam mulut, rasa dan teksturnya berbeda dengan es krim – es krim merk sekarang, amat klasik. Rasa dan teksturnya justru mirip dengan es dung-dung jaman saya masih ingusan.


Mata saya tak henti mengamati ruangannya hanya sekitar 3 x 5 meter saja. Mungkin karena itu, desain interiornya dipenuhi dengan kaca agar terlihat luas. Hanya ada 2 meja di sisi kanan dan 2 di sisi kiri. Antar meja yang dipasangkan dengan kursi rotan, disekat oleh kisi dengan motif floral.

Penasaran apakah ada ruangan lain, saya pura-pura minta ijin ke toilet. “Ini lurus aja, nanti mentok, belok kiri ya, Mbak”, ujar mbak-mbak pramusaji seolah-olah jalurnya rumit dan jaraknya jauh – tapi untuk ukuran menuju toilet, ya jauh. Saat berjalan, saya melihat seorang bapak-bapak yang saya taksir adalah pemiliknya dan beberapa pegawainya yang sibuk menata es krim di kotak pendingin yang jumlahnya lebih dari sepuluh buah. Saya takjub, ternyata di dalamnya lebih luas.

Tidak hanya es krimnya saja yang klasik, namun arsitekturnya juga masih mempertahankan gaya lama. Pintu masuknya merupakan 2 buah pintu kaca geser yang masing-masing bergambar segelas es krim warna-warni yang warnanya kian pudar. Saat mata saya melongok ke atas, tertulis “sejak 1952, Es Krim Tentrem”. Enam puluh dua tahun, sodara, sodara. Seperlima usia saya saat ini *digebug scoop es krim*. Dan, bapak yang saya temui di dalam tadi, yang akhirnya saya ketahui bernama Sulaiman, merupakan generasi ketiga yang mengelola Tentrem.



Saat saya menikmati es krim, hanya ada sepasang ABG SMU (mungkin mereka anti mainstream, di saat ABG lain nongkrong di mall, mereka lebih memilih di es krim klasik). Yang saya herankan adalah walaupun pengunjung tidak banyak, tetapi produksinya seperti tetap massive, karena saya juga tidak tahu mereka terima pesanan atau tidak.

Ohya, letak es krim Tentrem ini di Jl. Urip Sumoharjo, Solo, di sisi sebelah barat. Mata harus jeli, karena pepohonan pembatas jalan cukup rimbun untuk  menghalangi pandangan.

NB:
Buat Pak Sulaiman, mungkin butuh peremajaan interior dengan mempertahankan keklasikannya Pak, biar lebih menarik. Plus, buku menunya juga ya, Pak.

Penampakan es krim lainnya nih 
pink panther
banana split