Tampilkan postingan dengan label solo. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label solo. Tampilkan semua postingan

Kamis, 15 Januari 2015

Mengintip Dapur Soto Gading


"Lagi ke Solo nih, min. Mau wisata kuliner. Yang enak buat siang-siang gini apa ya min?", sebuah twit yang sering mensyen akun twitter keren (#eaaa) yang saya kelola. Dengan sigap saya menjawabnya, "Bisa yang seger-seger di Timlo Sastro, Selat Vien, atau Soto Gading, Kak". Maklum, sebagai admin kita harus sok menguasai apa bidang kita. Ingat, sok menguasai. Hehe.


Sembilan tahun hidup di Solo, saya belum pernah mencicipi Soto Gading, makanan hits Solo, tetapi selalu sok tahu dan merekomendasikan untuk pendatang atau turis. Lalu biarlah ini menjadi rahasia kita. Ngahaha.

Namun akhirnya, sebuah siang beberapa minggu lalu saya memberanikan diri membelokkan stang motor saya ke parkiran Soto Gading. Saya bertandang untuk mencari tahu jawaban atas pertanyaan saya sendiri "Kok bisa sebuah warung soto tidak pernah sepi, -kecuali sedang tutup- dan didatangi orang sangar, termasuk pejabat dan artis? Seenak apa sih?"

Dewi fortuna berpihak pada saya dengan memberikan tempat duduk pojok, menghadap jendela dapur dan dekat pintu menuju toilet. Hmmm..

Sotonya datang. Rasanya lumayan, walaupun ternyata tidak se-wah yang saya bayangkan. Tampilannya pun sederhana. Masih belum terjawab pertanyaan saya. Tehnya enak, nasgitel (panas, legi, kenthel). Side dish yang tersaji banyak sekali; sate brutu, sate telur puyuh, paru goreng, tempe goreng, tahu & telur bacem, sosis solo, aneka krupuk, dan ah, masih banyak lagi, -malas sebut satu-satu.



sate brutu berbentuk hati <3

Mungkinkah karena cara masaknya yang unik, yang masih pakai tungku dan peralatan tradisional? Entahlah. Saya tidak mengerti. Pertanyaan saya masih belum terjawab.

Masak air pakai anglo

Mama chef dan sebuah tungku

seperangkat alat dapur

Selasa, 14 Oktober 2014

Stroberi Sekipan

Selasa pagi minggu kedua di bulan Oktober tersaji manis. Saya bangun di kawasan bumi perkemahan Sekipan, Tawangmangu di pagi yang terlalu pagi, sementara dua teman saya masih meringkuk dalam sleeping bag masing-masing. Begitu saya membuka pintu, dinginnya udara pegunungan bersambut angin yang bertiup tidak sepoi-sepoi makin membuat kulit saya begidik kedinginan walaupun saya masih berbalut baju lurik hangat. Saya kembali masuk ke dalam dan membuat segelas kopi panas lalu menyeruputnya sambil menikmati pemandangan, bak di film-film.

Pagi itu adalah hasil dari sebuah rencana yang saya buat satu minggu sebelumnya, memetik stroberi di kebun milik seorang teman yang punya penginapan yang saya inapi ini. Tidur semalam hanya demi memetik stroberi di pagi harinya. Dia akhirnya mengantar kami ke kebun stroberi milik orang tuanya yang tidak jauh dari penginapan. 

Kebun stroberinya merupakan salah satu di antara beberapa kebun yang terhampar di antara villa-villa yang kian menjamur di sekitar. Sebenarnya tidak hanya stoberi yang menjadi andalan, karena, ya kali orang beragrowisata memetik daun mint dan icip-icip semriwingnya di tempat. Tapi monggo saja kalau berminat lho. Masih ada juga wortel, ubi, daun bawang, dan lain-lain.


Mint. Just in case you've never seen before
Titik-titik merah terlihat memberi warna di antara rimbunnya lajur-lajur hijau. Saya pun langsung berjingkat menuju sawah yang ditunjuk. Dan inilah waktunya panen stroberi. Iya, manenin stroberinya orang sambil makanin di tempat :p

Ah, saya berasa orang kota yang gembira dan penuh gairah yang tidak pernah lihat sawah. *ditabok pupuk kandang*. Padahal lebih ndeso dari Sekipan. 






Terima kasih kepada Bang Ipul yang telah mewujudkan keinginan saya memetik buah yang selalu membuat saya gemas setiap kali melihatnya. Here are the sweet and sour strawberries :3
fresh from the nature
photo credit: Yusuf
siap dibungkus

Selasa, 09 September 2014

Makhluk Manis dalam Kereta

Saya pinjam judul salah satu serial Lupus, 'Makhluk Manis dalam Bus' dari Hilman untuk mewakili curhat kali ini, yang berbeda hanya setting saja.  

Tiap kali naik kereta, belum pernah (dan berdoa agar) saya dan pasti juga kalian berhadapan atau duduk sesampingan dengan makhluk manis untuk sekadar pencuci mata. Sementara kali ini doa saya dikabulkan, tetapi saya malah menjadi kaum oportunis yang buruk. Jangankan bertukar nomor hp, bicara saja tidak sama sekali. 

Pukul 15.04, saya berlari masuk dari luar stasiun mengejar kereta menuju Surabaya yang berangkat satu menit berikutnya, berharap kereta terlambat seperti pada umumnya waktu yang berlaku di Indonesia. Tapi kereta tiba tepat waktu dan saya berdesakan dengan penumpang lain segera masuk mencari tempat duduk sesuai tiket.

Saya menemukan tempat duduk saya telah diisi pasutri (untung tidak tertangkap basah berbuat mesum). "Nomer berapa, Mbak?", tanya seorang lelaki yang duduk di depan kursi saya. "20D, Mas", jawab saya tanpa melihat wajahnya tetapi dengan menatap pasutri itu. Seketika mereka bersungut-sungut pindah ke kursinya sendiri. "Hello... This is my seat!", gitu sih kalau kata AGJ.

Tak ada lagi tempat tersisa untuk meletakkan carier (biar keren dibacanya) saya. Kini akhirnya saya menatap mas-mas itu untuk meminta ijin meletakkan carier saya di samping kakinya. Dia tersenyum simpul. Manisnya.. #eaaaa

Saya sibuk mencari posisi wenak sembari sedikit melirik-lirik manja
ke arahnya (Astaghfirulloh, imeh, jina, itu jina mata). Saya lihat dia sekarang justru menyumbat telinganya dengan headphone, sibuk dengan gadgetnya.

Sekitar setengah jam berlalu hanya dengan mencuri pandang. Tinggi badannya mungkin sekitar 170an cm. Badannya agak gempal. Penampilannya seperti traveler, backpacker, pejalan, dan sebangsanya. Badannya berbalut kemeja flanel kotak-kotak biru abu-abu sebagai luaran kaos Consina hitam. Celananya kargo warna cokelat terang selutut. Saya lirik ke bawah, sepatunya fantovel semi casual, entah apa namanya, saya bukan pengamat fesyen. Melingkar di tangan kanannya, jam tangan merk Fossil. Seketika saya iri dengan travel pouch warna cokelat army di pangkuannya dan day-pack yang bersandar di lengan kanannya yang kekar. Jadi, pilih nyender apa dipangku?

Dia melepas salah satu headphone-nya. Lampu hijau mulai menyala untuk membuka percakapan. Tapi tangan saya masih tetap sibuk mengetik dan berbincang dengan teman-teman melalui whatsapp. Pasti akan terlihat aneh jika tiba-tiba saya mengajaknya bicara. Wanita memang makhluk paling galau sejagad raya. *nguwel-uwel kemeja masnya*

Saya hanya sesekali menjadi paparazzi, dengan was-was kalau ketahuan, untuk tagihan teman yang saya ajak bergunjing di whatsapp.
 
Kereta kini tiba dan berhenti di Stasiun Madiun. Sinar matahari sore menerpa kulit coklatnya. Dan saya menikmati pemandangan ini. Tapi tiba-tiba dia berdiri meraih ranselnya, dan tersenyum. Gigi gingsulnya menghias senyumnya. Aduhai, manis sekali. Dia turun dari kereta meninggalkan senyum manis. Laaaaaaah, saya penonton kecewa. 

Dan kesempatan tidak datang dua kali (tapi tiga kali, empat kali, lima kali, dan lebih banyak kali lagi).

P.S.: Semoga masnya nggak baca. Nggak mungkin juga sih :D

Rabu, 16 Juli 2014

Berjumpa Payung Teduh

Sorak sorai penonton bergemuruh saat Is, Comi, Cito, dan Ivan memasuki panggung satu persatu. Terdengar kian keras saat Ivan memetik ukulele memulai intro lagu “Angin Pujaan Hati”. Tanpa perlu komando, penonton ikut bernyanyi bersama Is, sang vokalis. Tak jarang dia melemparkan mic ke arah penonton, seketika itu juga suara penonton makin bergema. Lagu pertama dalam bingkai Diorama Senja, Payung Teduh menyeluruh ruangan GOR Manahan Solo.

Malam itu di pertengahan bulan Juni, Is yang mengenakan blouse hitam dan celana ketat berwarna cerah dengan rambut gondrongnya yang diikat, bernyanyi dengan mengalungkan gitar akustiknya di pundaknya. Dengan penuh penghayatan, Comi sesekali memejamkan mata saat memetik bassnya. Tepuk tangan dan siul penonton riuh saat melodi bassnya mengisi interlude lagu. Ivan terlihat duduk santai di kursi kecil sambil memegang ukulele di depan dadanya. Mengiringi suara Is, Ivan mengambil suara dua. Dentuman lembut drum Cito melengkapi gelaran konser malam itu.
Dari tempat saya duduk
Band indie asal Jakarta ini, membuat GOR Manahan Solo memanas. Sementara di luar, hujan jatuh mengguyur seluruh kota. Saya duduk di tribun yang berhadap-hadapan dengan panggung. Badan saya yang basah karena kehujanan saat menuju venue, tidak kian mengering, justru bercampur keringat. Seperti penonton yang berdiri persis di depan panggung, kami yang di tribun duduk rapat-rapat tanpa jarak. Ruangan benar-benar penuh oleh para penikmat musik mereka. Tak hentinya saya mengelap keringat.

Saat “Resah” dimainkan, tidak ada penonton yang tidak bernyanyi. Terlihat dari screen di samping panggung, sebagian dari mereka menghayati melebihi sang vokalis sendiri. Mereka seperti terbuai dalam lirik-lirik puitik dan romantis namun tidak picisan.

Lirik dalam tiap lagunya selalu membawa unsur alam. Udara, angin, langit, bulan, matahari, laut, gunung, pohon. Bahkan beberapa lagu tidak hanya menjadikan alam sebagai penghias di antara cerita cinta, rindu, dan lara, namun juga sebagai pemeran utama dalam melankolinya seperti dalam lagu Cerita Tentang Gunung dan Laut.

Petikan gitar, bass, dan ukulele berpadu dengan gebukan drum dalam melodi membuat aliran musik yang memanjakan telinga. Bagi saya yang awam musik, tidak perlu ada mendengarkan liriknya untuk bisa larut dalam imaji yang ditimbulkan dari alunannya. Tapi, suara lirih nan bass sang vokalis mampu membawa daya khayal kian hanyut.

Saya mengenal musik mereka dari radio lokal yang dahulunya sering memutar saat larut malam. Lalu, saya makin sering mendengar saat berada di coffee shop – coffee shop. Lagu mereka seolah sudah menjadi anthem untuk warung tongkrongan anak muda.

Saya menjadi fans-hampir-alay semalam. Seusai konser, saya segera berlari ke back stage untuk meminta foto bersama, — hal yang tak pernah saya lakukan sebelumnya. Tapi yang saya temui hanya Comi. Baiklah. Tak mengapa. Saya sempat mengulurkan tangan hendak berjabat tangan dengannya, tapi mungkin karena warna tangan saya nampak samar dalam gelap, saya rasa tidak dia lihat. Awkwaaaard. Setidaknya mimpi bertemu mereka di malam sebelumnya menjadi nyata. 
sebelum awkward moment

P.S: kesalahan bukan pada monitor/LCD atau mata anda, tetapi pada kamera hp saya yang beresolusi tiarap tanpa flash. Gambar juga telah melalui pencerahan berulang kali.

Jumat, 06 Juni 2014

Tentrem yang Adem

Sebenernya saya tidak terlalu suka dengan es krim, tapi kenapa saya menulis tentang es krim? Karena, ya ingin saja.

Saya membolak-balikkan buku menu yang agak usang dan akhirnya memesan es krim berjudul Horn Keranjang, tiga scoop es krim rasa coklat, stroberi, dan leci, dengan garnish astor dan siraman coklat cair nan tipis. Saat suapan pertama masuk ke dalam mulut, rasa dan teksturnya berbeda dengan es krim – es krim merk sekarang, amat klasik. Rasa dan teksturnya justru mirip dengan es dung-dung jaman saya masih ingusan.


Mata saya tak henti mengamati ruangannya hanya sekitar 3 x 5 meter saja. Mungkin karena itu, desain interiornya dipenuhi dengan kaca agar terlihat luas. Hanya ada 2 meja di sisi kanan dan 2 di sisi kiri. Antar meja yang dipasangkan dengan kursi rotan, disekat oleh kisi dengan motif floral.

Penasaran apakah ada ruangan lain, saya pura-pura minta ijin ke toilet. “Ini lurus aja, nanti mentok, belok kiri ya, Mbak”, ujar mbak-mbak pramusaji seolah-olah jalurnya rumit dan jaraknya jauh – tapi untuk ukuran menuju toilet, ya jauh. Saat berjalan, saya melihat seorang bapak-bapak yang saya taksir adalah pemiliknya dan beberapa pegawainya yang sibuk menata es krim di kotak pendingin yang jumlahnya lebih dari sepuluh buah. Saya takjub, ternyata di dalamnya lebih luas.

Tidak hanya es krimnya saja yang klasik, namun arsitekturnya juga masih mempertahankan gaya lama. Pintu masuknya merupakan 2 buah pintu kaca geser yang masing-masing bergambar segelas es krim warna-warni yang warnanya kian pudar. Saat mata saya melongok ke atas, tertulis “sejak 1952, Es Krim Tentrem”. Enam puluh dua tahun, sodara, sodara. Seperlima usia saya saat ini *digebug scoop es krim*. Dan, bapak yang saya temui di dalam tadi, yang akhirnya saya ketahui bernama Sulaiman, merupakan generasi ketiga yang mengelola Tentrem.



Saat saya menikmati es krim, hanya ada sepasang ABG SMU (mungkin mereka anti mainstream, di saat ABG lain nongkrong di mall, mereka lebih memilih di es krim klasik). Yang saya herankan adalah walaupun pengunjung tidak banyak, tetapi produksinya seperti tetap massive, karena saya juga tidak tahu mereka terima pesanan atau tidak.

Ohya, letak es krim Tentrem ini di Jl. Urip Sumoharjo, Solo, di sisi sebelah barat. Mata harus jeli, karena pepohonan pembatas jalan cukup rimbun untuk  menghalangi pandangan.

NB:
Buat Pak Sulaiman, mungkin butuh peremajaan interior dengan mempertahankan keklasikannya Pak, biar lebih menarik. Plus, buku menunya juga ya, Pak.

Penampakan es krim lainnya nih 
pink panther
banana split