Sorak sorai penonton bergemuruh saat Is, Comi, Cito, dan
Ivan memasuki panggung satu persatu. Terdengar kian keras
saat Ivan memetik ukulele memulai intro lagu “Angin Pujaan Hati”. Tanpa perlu
komando, penonton ikut bernyanyi bersama Is, sang vokalis. Tak jarang dia
melemparkan mic ke arah penonton, seketika itu juga suara penonton makin
bergema. Lagu pertama dalam bingkai Diorama Senja, Payung Teduh menyeluruh
ruangan GOR Manahan Solo.
Malam itu di pertengahan bulan Juni, Is yang mengenakan
blouse hitam dan celana ketat berwarna cerah dengan rambut gondrongnya yang
diikat, bernyanyi dengan mengalungkan gitar akustiknya di pundaknya. Dengan penuh
penghayatan, Comi sesekali memejamkan mata saat memetik bassnya. Tepuk tangan
dan siul penonton riuh saat melodi bassnya mengisi interlude lagu. Ivan terlihat
duduk santai di kursi kecil sambil memegang ukulele di depan dadanya. Mengiringi
suara Is, Ivan mengambil suara dua. Dentuman lembut drum Cito melengkapi
gelaran konser malam itu.
Band indie asal Jakarta ini, membuat GOR Manahan Solo
memanas. Sementara di luar, hujan jatuh mengguyur seluruh kota. Saya duduk di
tribun yang berhadap-hadapan dengan panggung. Badan saya yang basah karena
kehujanan saat menuju venue, tidak kian mengering, justru bercampur keringat. Seperti
penonton yang berdiri persis di depan panggung, kami yang di tribun duduk
rapat-rapat tanpa jarak. Ruangan benar-benar penuh oleh para penikmat musik mereka.
Tak hentinya saya mengelap keringat.
Dari tempat saya duduk |
Saat “Resah” dimainkan, tidak ada penonton yang tidak
bernyanyi. Terlihat dari screen di samping panggung, sebagian dari mereka
menghayati melebihi sang vokalis sendiri. Mereka seperti terbuai dalam
lirik-lirik puitik dan romantis namun tidak picisan.
Lirik dalam tiap lagunya selalu membawa unsur alam. Udara,
angin, langit, bulan, matahari, laut, gunung, pohon. Bahkan beberapa lagu tidak
hanya menjadikan alam sebagai penghias di antara cerita cinta, rindu, dan lara,
namun juga sebagai pemeran utama dalam melankolinya seperti dalam lagu Cerita
Tentang Gunung dan Laut.
Petikan gitar, bass, dan ukulele berpadu dengan gebukan drum
dalam melodi membuat aliran musik yang memanjakan telinga. Bagi saya yang awam musik, tidak
perlu ada mendengarkan liriknya untuk bisa larut dalam imaji yang ditimbulkan
dari alunannya. Tapi, suara lirih nan bass sang vokalis mampu membawa daya khayal kian
hanyut.
Saya mengenal musik mereka dari radio lokal yang dahulunya
sering memutar saat larut malam. Lalu, saya makin sering mendengar saat berada
di coffee shop – coffee shop. Lagu mereka seolah sudah menjadi anthem untuk
warung tongkrongan anak muda.
Saya menjadi fans-hampir-alay semalam. Seusai konser, saya
segera berlari ke back stage untuk meminta foto bersama, — hal
yang tak pernah saya lakukan sebelumnya. Tapi yang saya temui
hanya Comi. Baiklah. Tak mengapa. Saya sempat mengulurkan tangan hendak berjabat tangan dengannya, tapi mungkin karena warna tangan saya nampak samar dalam gelap, saya rasa tidak dia lihat. Awkwaaaard. Setidaknya mimpi bertemu mereka di malam
sebelumnya menjadi nyata.
P.S: kesalahan bukan pada monitor/LCD atau mata anda, tetapi pada kamera hp saya yang beresolusi tiarap tanpa flash. Gambar juga telah melalui pencerahan berulang kali.
sebelum awkward moment |
P.S: kesalahan bukan pada monitor/LCD atau mata anda, tetapi pada kamera hp saya yang beresolusi tiarap tanpa flash. Gambar juga telah melalui pencerahan berulang kali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar