Rabu, 16 Juli 2014

Berjumpa Payung Teduh

Sorak sorai penonton bergemuruh saat Is, Comi, Cito, dan Ivan memasuki panggung satu persatu. Terdengar kian keras saat Ivan memetik ukulele memulai intro lagu “Angin Pujaan Hati”. Tanpa perlu komando, penonton ikut bernyanyi bersama Is, sang vokalis. Tak jarang dia melemparkan mic ke arah penonton, seketika itu juga suara penonton makin bergema. Lagu pertama dalam bingkai Diorama Senja, Payung Teduh menyeluruh ruangan GOR Manahan Solo.

Malam itu di pertengahan bulan Juni, Is yang mengenakan blouse hitam dan celana ketat berwarna cerah dengan rambut gondrongnya yang diikat, bernyanyi dengan mengalungkan gitar akustiknya di pundaknya. Dengan penuh penghayatan, Comi sesekali memejamkan mata saat memetik bassnya. Tepuk tangan dan siul penonton riuh saat melodi bassnya mengisi interlude lagu. Ivan terlihat duduk santai di kursi kecil sambil memegang ukulele di depan dadanya. Mengiringi suara Is, Ivan mengambil suara dua. Dentuman lembut drum Cito melengkapi gelaran konser malam itu.
Dari tempat saya duduk
Band indie asal Jakarta ini, membuat GOR Manahan Solo memanas. Sementara di luar, hujan jatuh mengguyur seluruh kota. Saya duduk di tribun yang berhadap-hadapan dengan panggung. Badan saya yang basah karena kehujanan saat menuju venue, tidak kian mengering, justru bercampur keringat. Seperti penonton yang berdiri persis di depan panggung, kami yang di tribun duduk rapat-rapat tanpa jarak. Ruangan benar-benar penuh oleh para penikmat musik mereka. Tak hentinya saya mengelap keringat.

Saat “Resah” dimainkan, tidak ada penonton yang tidak bernyanyi. Terlihat dari screen di samping panggung, sebagian dari mereka menghayati melebihi sang vokalis sendiri. Mereka seperti terbuai dalam lirik-lirik puitik dan romantis namun tidak picisan.

Lirik dalam tiap lagunya selalu membawa unsur alam. Udara, angin, langit, bulan, matahari, laut, gunung, pohon. Bahkan beberapa lagu tidak hanya menjadikan alam sebagai penghias di antara cerita cinta, rindu, dan lara, namun juga sebagai pemeran utama dalam melankolinya seperti dalam lagu Cerita Tentang Gunung dan Laut.

Petikan gitar, bass, dan ukulele berpadu dengan gebukan drum dalam melodi membuat aliran musik yang memanjakan telinga. Bagi saya yang awam musik, tidak perlu ada mendengarkan liriknya untuk bisa larut dalam imaji yang ditimbulkan dari alunannya. Tapi, suara lirih nan bass sang vokalis mampu membawa daya khayal kian hanyut.

Saya mengenal musik mereka dari radio lokal yang dahulunya sering memutar saat larut malam. Lalu, saya makin sering mendengar saat berada di coffee shop – coffee shop. Lagu mereka seolah sudah menjadi anthem untuk warung tongkrongan anak muda.

Saya menjadi fans-hampir-alay semalam. Seusai konser, saya segera berlari ke back stage untuk meminta foto bersama, — hal yang tak pernah saya lakukan sebelumnya. Tapi yang saya temui hanya Comi. Baiklah. Tak mengapa. Saya sempat mengulurkan tangan hendak berjabat tangan dengannya, tapi mungkin karena warna tangan saya nampak samar dalam gelap, saya rasa tidak dia lihat. Awkwaaaard. Setidaknya mimpi bertemu mereka di malam sebelumnya menjadi nyata. 
sebelum awkward moment

P.S: kesalahan bukan pada monitor/LCD atau mata anda, tetapi pada kamera hp saya yang beresolusi tiarap tanpa flash. Gambar juga telah melalui pencerahan berulang kali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar