Jumat, 29 November 2013

Rindu Semalam di Ubud, Bali

Bukan tulisan romantis.

Ransel dengan berat lebih dari 7 kg menggantung pasrah memberati punggung saya. Penuh peluh, saya berjalan mengantar rombongan tour menuju penginapan di Ubud untuk check in. hari sudah gelap,gerimis mulai merintik, sedangkan badan saya sudah cukup lelah untuk menempuh jarak lebih jauh lagi karena telah berjalan ke sana ke mari seharian. Suasana gelap membuat saya kesulitan menemukan penginapan yang saya tuju.

Setelah setengah jam berlalu, satu tugas selesai, peserta tour telah masuk kamar masing-masing. Walaupun begitu, tanggung jawab saya belum selesai. Masih ada tetek bengek dengan makan malam. Saat semua terselesaikan, akhirnya saya mendapati sepotong surga yang berbentuk kasur karena seolah tak ada yang lebih melegakan selain melihat kamar tidur.

Saat itu, berkali-kali saya menerima sumpah serapah kawan TL. Betapa tidak, sehari semalam badan saya belum terguyur air dan sabun, keringat berkucuran dan saya yakin daki-daki yang menempel di tubuh saya makin menebal. Tapi bau badan saya mungkin tidak seberapa dibanding dengan sepatu yang seharian saya kenakan, kini beraroma tidak lebih enak dari rendaman pakaian kotor sebulan. Baunya pun seakan melekat pada kaki. Kalau bisa, saya copot dan buang kaki saya itu, dan menggantinya dengan yang baru karena baunya tak karuan, membuat mual. Hehe.

Sudah, air hangat mengguyur badan saya. Berlama-lama saya di dalam kamar mandi meluruhkan daki dan bau tak sedap. Tak ada lagi caci maki dari mereka. Kini, waktunya kopi, pikir kami, untuk sedikit relaksasi, walaupun terlalu larut.

Kami berjalan keluar dari gang sempit. Sunyi. Senyap. Yang ada hanya aroma dupa dan sesekali gonggongan anjing peliharaan setempat. Sepanjang gang, kanan kiri hanyalah penginapan khas bangunan Bali dengan arca-arca di pintu masuk mungil yang hanya dapat dilewati satu atau dua orang saja, café dan warung kopi kecil atau sekedar persewaan motor, dan beberapa kios spa dan pijat tradisional lengkap dengan tempayan berisikan air dan bunga kamboja yang ditata dengan cantik. Bunga-bunga kamboja bertebaran di jalanan, mungkin jatuh dari canang, tempat sesaji, atau dari pohonnya yang tumbuh di sepanjang jalan. Benar-benar tidak saya perhatikan sebelumnya saat saya mencari penginapan tadi.

Keluar dari gang, tak kami temui satupun coffee shop yang masih buka. Hanya ada swalayan 24 jam. Dan di situlah kami akhirnya berhenti dan menikmati kopi instan yang dingin sembari bercakap dengan seseorang local.

Makin larut. Kami putuskan segera kembali ke penginapan. Saya tidak merasa terlalu lelah saat berjalan, karena dua kawan saya ini begitu menyenangkan dengan lelucon mereka. Pun dengan suasana malam yang tenang dan syahdu. Saya mengakhiri malam yang terlalu singkat dengan menghirup dalam-dalam bunga kamboja yang saya ambil dari jalanan. Sungguh. Wangi. Khas. Ini Bali.

Dini hari yang dingin mengistirahatkan badan kami hingga pagi hari.

Alarm hp sudah melolong berkali-kali. Di luar kicau burung mulai riuh. Pagi yang terlalu memburu dengan tugas dan tanggung jawab lagi.

Tak sempat saya menikmati waktu santai di Ubud. Mungkin sekedar merasakan suasana pagi di balkon penginapan, merendam kaki di kolam renang, berjalan-jalan melihat persawahan hijau di bawah langit biru, duduk berlama-lama di coffee shop sambil memandangi lalu lalang kendaraan dan mendengarkan musik akustiknya saat malam hari, mengambil bunga kamboja dan menyelipkan di rambut dan bergaya layaknya perempuan-perempuan cantik.



Biar, ini terlalu berlebihan, because I’ve already missed Bali.
Can I ask for one more Ubud with the details i wanted, please?!