Rabu, 02 November 2016

Note from Flores (2)

03-10-16

Jangan Lupakan Sejarah

Dude, pagi ini burung-burung sebelah berkicau lebih berisik dari kemarin sore. Sepertinya, mereka adalah burung walet. Kicauan mereka menjadi alarmku pagi ini.

Masih ada waktu 3 jam setelah sarapan sebelum berangkat menuju Pelabuhan Sape, dan aku tidak bisa diam di kamar. Jadi aku memutuskan berjalan-jalan ke sekitar hotel. Pukul 8 matahari sudah tinggi. Lumayan terik.

Aku menuju museum Asi Mbojo dekat dengan hotel. Letak museum dari hotel hanya dipisahkan oleh alun-alun. Di sisi selatan alun-alun terdapat patung kuda putih yang gagahKuda asal Bima sudah tersohor di nusantara sejak Indonesia masih terdiri dari kerajaan-kerajaan.



Untuk orang Jawa, nama museum ini pasti lucu, karena mbojo itu berarti pacaran. Tapi sebenarnya, asi berarti orang, dan Mbojo berarti suku Bima (cmiiw). Dong to?
Bangunan museum ini adalah bangunan baru. Bangunan aslinya ada di samping bangunan baru. Bentuk bangunan asli lebih sederhana, dindingnya terbuat dari kayu. Di samping kanan ada tiga rumah panggung mini. Kukira ini tempat buat leyeh-leyeh atau apalah, ternyata lumbung padi, gesss. Hehe.


Tampak depan
Seperti kebanyakan museum, banyak benda bersejarah yang disimpan, termasuk senjata dan perhiasan yang diletakkan di lemari kaca dan dibentengi dengan jeruji besi seperti di bui, baju adat, aksara-aksara Indonesia, Al-Quran yang ditulis ditahun 1700an dan dan silsilah raja-raja di Bima sejak awal berdiri sebagai kerajaan hindu, kerajaan Islam di tahun 1600an hingga sekarang. Yang selalu dibanggakan dari museum ini adalah kamar tidur di lantai dua di mana Bung Karno pernah menginap di tahun 1950. Ngomong-ngomong, sultan Bima yang sekarang masih muda baru dilantik beberapa bulan yang lalu, usianya baru 20an, dan sedang menyelesaikan kuliah di Bandung. Ah, aku lupa lagi namanya siapa.


Kamar Bung Karno
Kesultanan Bima punya bendera sendiri yang berbentuk persegi panjang. Kainnya sudah lusuh, warnanya pudar, sedikit robek di salah satu sisinya. Terdapat burung garuda berkepala dua sebagai symbol kesultanan. Aku sempat bertanya, kenapa burungnya berkepala dua dan menoleh ke kanan dan ke kiri. Alasannya adalah karena kesultanan Bima berasaskan hukum adat dan hukum islam. Dua hukum ini sama derajatnya. Jadi, lambang Indonesia sama lambang Kesultanan Bima duluan mana, hayo?

Sebenarnya kalau dibahas sejarahnya dari A sampai Z pasti panjang, karena Kerajaan Bima adalah salah satu kerajaan terbesar di Indonesia timur. Dan aku harus segera kembali ke hotel. Jadi anggap saja ini spoiler, lebih lengkapnya, pasti di google banyak. Hehe.

***

Perjalanan Dimulai

Kamu tahu aku sering mabuk setiap kali aku ada di dalam sebuah ruangan yang beroda (tukang mabuk kok nyamar jadi turis), jadi aku memilih duduk di depan, belakang sopir yang handal, Mas Didik. Jalanan panjang dan berliku sudah jadi makanan sehari-hari dia, selain nasi tentunya.


Kalau aku bisa lancar kirim pesan melalui Whatsapp selama di sini (NTB & NTT) dan sinyal provider Telk*msel lancar, kamu harus berterima kasih padanya (salah satunya).

Mas Didik, the Pro

Seusai makan tadi malam, aku hengot dengannya di gazebo dan dia bercerita bahwa 16 tahun lalu dia memulai karirnya sebagai driver truk di Lombok. Beberapa tahun lalu dia mendapat tawaran dari seorang teman sejawatnya untuk membawa potongan besi-besi bakal tower menuju timur hingga pulau Sumba. Dari beberapa orang yang ditawari, hanya dia yang bernyali karena beban truk yang dahsyat melalui jalanan beraspal yang rusak dan menyerupai jalan macadam atau bahkan belum diaspal. Lalu aku merasa bangga karena jalanan di Purwodadi saja masih kalah jelek. Dia bilang bahwa sejak dua tahun yang lalu jalanan sudah mulai diperbaiki lagi.

Perjalanan dari Bima ke pelabuhan Sape memang sungguh luar biasa, bukan karena pemandangannya, tapi karena jalannya yang berliku, naik turun, dan kanan kiri jurang. Kali ini sempat hujan dan melewati bukit yang longsor. Salah perhitungan sedikit saja, hmmmm, sudahlah. Pak Ardi, tour leader, bilang bahwa jurangnya itu sedalam lagu Indonesia Raya yang diputar selama 4 kali. Siapa yang mau membuktikan? Aku sih no.

Tapi kami sempat berhenti di jalanan di atas jurang. Photo stop, untuk mencegah duduk berkepanjangan yang bisa menyebabkan ambeien.

Dari atas jurang
Aku baru tau kalau Bima itu juga penghasil bawang merah
dan hasilnya dikirim ke Jawa
Ternyata orang sini mempekerjakan expat juga.

***

Hidup di Atas Kapal

Terakhir kali aku berada di kapal lebih dari 12 jam sewaktu menyeberang dari Baubau, Buton ke Wakatobi di tahun 2013. Saat itu aku tidur di atas dek dengan matras berhimpitan dengan kardus belanjaan orang-orang local sana. Tapi, kali ini lebih baik. Setidaknya kapal ini khusus untuk wisatawan. Ada kabin dengan kasur single/double, ditutup dengan seprei, dan lengkap dengan bantal dan selimut yang layak. AC pun ada, tapi tidak untuk dinyalakan. Bukan sebagai hiasan, hanya rombongan ini rombongan hemat, beb. Lagipula, kalau cabin dingin, aku akan menyelinap ke kabin awak kapal juga tidak bisa tidur.


Gunung Sangeang sedang merokok
Setelah berkenalan dengan Ibu pemilik kapal dan bapak kapten dan briefing sebentar untuk menjelaskan rute perjalanan, makan siang siap. Kamu tahu, makanan di kapal lebih mewah dari menu sarapan di hotel tadi pagi. Menu empat sehat, lima sempurna kalau bawa susu sendiri. *sounds wrong ya* Biarin sih.



Dari Pelabuhan Sape, kapal langsung menuju Pink Beach selama 5 jam. Air lautnya tenang. Selama kapal berlayar, yang terlihat hanyalah laut yang luas. Pulau-pulau yang berbukit terlihat berjejer-jejer dan bertumpuk-tumpuk menutupi satu dan yang lainnya. Semakin mendekati Pink Beach, pulau-pulau yang tadinya terlihat samar mulai nampak jelas. Bukit-bukit itu ditutupi rumput yang mulai menguning karena perubahan musim. Langit di belakang kapal berubah menjadi jingga. Matahari sore tertutup awan tipis.



Setibanya di depan Pink Beach, hari sudah gelap, kapal berhenti dan kami bermalam di atas kapal. Bulan sabit yang tadinya berada di ujung barat mulai menghilang. Beruntung malam itu sangat cerah, bintang-bintang seperti asal disebar di langit seketika lampu kapal dimatikan. Maaf ya, ndak bisa foto bintangnya, kapalnya goyang, je. Percuma juga kalau waktu itu tripod-nya jadi kubawa. Kalau kamu pernah ke planetarium, ya seperti itulah. Hanya saja bedanya di sini, di atas laut, kanan, kiri, dan depan adalah pantai, aroma laut, dan angin laut.

Bayangkan saja, tidur berbaring telentang, mata memandang ke atas dengan pemadangan langit penuh bintang, sesekali ada bintang jatuh. Romantis nggak sih? And it’s just effortlessly beautiful. Sayangnya bukan sebelahan sama kamu. Hehe. Jadi, aku memutuskan untuk tidur di atas dek dengan matras. Makin lama selimut dan kasur terasa lengket, padahal aku tidak berkeringat. *Mau keringetan ngapain coba?* Sepertinya sih karena air garam. Akhirnya aku tidur di kabin, walaupun justru di situ yang buat keringetan.

(bersambung ke Komodo esok hari)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar