03-10-16
Jangan Lupakan Sejarah
Dude, pagi ini burung-burung
sebelah berkicau lebih berisik dari kemarin sore. Sepertinya, mereka adalah
burung walet. Kicauan mereka menjadi alarmku pagi ini.
Masih ada waktu 3 jam setelah
sarapan sebelum berangkat menuju Pelabuhan Sape, dan aku tidak bisa diam di
kamar. Jadi aku memutuskan berjalan-jalan ke sekitar hotel. Pukul 8 matahari
sudah tinggi. Lumayan terik.
Aku menuju museum Asi Mbojo dekat
dengan hotel. Letak museum dari hotel hanya dipisahkan oleh alun-alun. Di sisi
selatan alun-alun terdapat patung kuda putih yang gagah. Kuda asal Bima sudah tersohor di nusantara sejak
Indonesia masih terdiri dari kerajaan-kerajaan.
Untuk orang Jawa, nama museum ini pasti lucu, karena mbojo itu berarti pacaran. Tapi sebenarnya, asi berarti orang, dan Mbojo berarti suku Bima (cmiiw). Dong to?
Untuk orang Jawa, nama museum ini pasti lucu, karena mbojo itu berarti pacaran. Tapi sebenarnya, asi berarti orang, dan Mbojo berarti suku Bima (cmiiw). Dong to?
Bangunan museum ini adalah bangunan
baru. Bangunan aslinya ada di samping bangunan baru. Bentuk bangunan asli lebih
sederhana, dindingnya terbuat dari kayu. Di samping kanan ada tiga rumah
panggung mini. Kukira ini tempat buat leyeh-leyeh atau apalah, ternyata lumbung
padi, gesss. Hehe.
Seperti kebanyakan museum, banyak
benda bersejarah yang disimpan, termasuk senjata dan perhiasan yang diletakkan
di lemari kaca dan dibentengi dengan jeruji besi seperti di bui, baju adat, aksara-aksara
Indonesia, Al-Quran yang ditulis ditahun 1700an dan dan silsilah raja-raja di
Bima sejak awal berdiri sebagai kerajaan hindu, kerajaan Islam di tahun 1600an
hingga sekarang. Yang selalu dibanggakan dari museum ini adalah kamar tidur di
lantai dua di mana Bung Karno pernah menginap di tahun 1950. Ngomong-ngomong, sultan Bima yang
sekarang masih muda baru dilantik beberapa bulan yang lalu, usianya baru 20an,
dan sedang menyelesaikan kuliah di Bandung. Ah, aku lupa lagi namanya siapa.
Kesultanan Bima punya bendera
sendiri yang berbentuk persegi panjang. Kainnya sudah lusuh, warnanya pudar,
sedikit robek di salah satu sisinya. Terdapat burung garuda berkepala dua
sebagai symbol kesultanan. Aku sempat bertanya, kenapa burungnya berkepala dua
dan menoleh ke kanan dan ke kiri. Alasannya adalah karena kesultanan Bima
berasaskan hukum adat dan hukum islam. Dua hukum ini sama derajatnya. Jadi,
lambang Indonesia sama lambang Kesultanan Bima duluan mana, hayo?
Tampak depan |
Kamar Bung Karno |
Sebenarnya kalau dibahas sejarahnya
dari A sampai Z pasti panjang, karena Kerajaan Bima adalah salah satu kerajaan
terbesar di Indonesia timur. Dan aku harus segera kembali ke hotel. Jadi anggap
saja ini spoiler, lebih lengkapnya,
pasti di google banyak. Hehe.
***
Perjalanan Dimulai
Kamu tahu aku sering mabuk setiap
kali aku ada di dalam sebuah ruangan yang beroda (tukang mabuk kok nyamar jadi turis), jadi aku memilih duduk di
depan, belakang sopir yang handal, Mas Didik. Jalanan panjang dan berliku sudah
jadi makanan sehari-hari dia, selain nasi tentunya.
Kalau aku bisa lancar kirim pesan
melalui Whatsapp selama di sini (NTB & NTT) dan sinyal provider Telk*msel
lancar, kamu harus berterima kasih padanya (salah satunya).
Seusai makan tadi malam, aku hengot dengannya di gazebo dan dia bercerita bahwa 16 tahun lalu dia memulai karirnya
sebagai driver truk di Lombok. Beberapa tahun lalu dia mendapat tawaran dari
seorang teman sejawatnya untuk membawa potongan besi-besi bakal tower menuju timur hingga pulau Sumba.
Dari beberapa orang yang ditawari, hanya dia yang bernyali karena beban truk
yang dahsyat melalui jalanan beraspal yang rusak dan menyerupai jalan macadam
atau bahkan belum diaspal. Lalu aku merasa bangga karena jalanan di Purwodadi
saja masih kalah jelek. Dia bilang bahwa sejak dua tahun yang lalu jalanan
sudah mulai diperbaiki lagi.
Perjalanan dari Bima ke pelabuhan
Sape memang sungguh luar biasa, bukan karena pemandangannya, tapi karena
jalannya yang berliku, naik turun, dan kanan kiri jurang. Kali ini sempat hujan
dan melewati bukit yang longsor. Salah perhitungan sedikit saja, hmmmm,
sudahlah. Pak Ardi, tour leader, bilang bahwa jurangnya itu sedalam lagu Indonesia Raya yang
diputar selama 4 kali. Siapa yang mau membuktikan? Aku sih no.
Tapi kami sempat berhenti di jalanan di atas jurang. Photo stop, untuk mencegah duduk berkepanjangan yang bisa menyebabkan ambeien.
Tapi kami sempat berhenti di jalanan di atas jurang. Photo stop, untuk mencegah duduk berkepanjangan yang bisa menyebabkan ambeien.
Dari atas jurang |
Aku baru tau kalau Bima itu juga penghasil bawang merah dan hasilnya dikirim ke Jawa |
Ternyata orang sini mempekerjakan expat juga. |
***
Hidup di Atas Kapal
Terakhir kali aku berada di kapal
lebih dari 12 jam sewaktu menyeberang dari Baubau, Buton ke Wakatobi di tahun
2013. Saat itu aku tidur di atas dek dengan matras berhimpitan dengan kardus
belanjaan orang-orang local sana. Tapi, kali ini lebih baik. Setidaknya kapal ini
khusus untuk wisatawan. Ada kabin dengan kasur single/double, ditutup dengan seprei, dan lengkap dengan bantal dan
selimut yang layak. AC pun ada, tapi tidak untuk dinyalakan. Bukan sebagai
hiasan, hanya rombongan ini rombongan hemat, beb. Lagipula, kalau cabin dingin, aku akan menyelinap ke kabin
awak kapal juga tidak bisa tidur.
Setelah berkenalan dengan Ibu
pemilik kapal dan bapak kapten dan briefing
sebentar untuk menjelaskan rute perjalanan, makan siang siap. Kamu tahu,
makanan di kapal lebih mewah dari menu sarapan di hotel tadi pagi. Menu empat
sehat, lima sempurna kalau bawa susu sendiri. *sounds wrong ya* Biarin sih.
Gunung Sangeang sedang merokok |
Dari Pelabuhan Sape, kapal langsung
menuju Pink Beach selama 5 jam. Air lautnya tenang. Selama kapal berlayar, yang
terlihat hanyalah laut yang luas. Pulau-pulau yang berbukit terlihat
berjejer-jejer dan bertumpuk-tumpuk menutupi satu dan yang lainnya. Semakin
mendekati Pink Beach, pulau-pulau yang tadinya terlihat samar mulai nampak
jelas. Bukit-bukit itu ditutupi rumput yang mulai menguning karena perubahan
musim. Langit di belakang kapal berubah menjadi jingga. Matahari sore tertutup
awan tipis.
Setibanya di depan Pink Beach, hari sudah gelap, kapal berhenti dan kami bermalam di atas kapal. Bulan sabit yang tadinya berada di ujung barat mulai menghilang. Beruntung malam itu sangat cerah, bintang-bintang seperti asal disebar di langit seketika lampu kapal dimatikan. Maaf ya, ndak bisa foto bintangnya, kapalnya goyang, je. Percuma juga kalau waktu itu tripod-nya jadi kubawa. Kalau kamu pernah ke planetarium, ya seperti itulah. Hanya saja bedanya di sini, di atas laut, kanan, kiri, dan depan adalah pantai, aroma laut, dan angin laut.
Bayangkan saja, tidur berbaring
telentang, mata memandang ke atas dengan pemadangan langit penuh bintang,
sesekali ada bintang jatuh. Romantis nggak
sih? And it’s just effortlessly beautiful.
Sayangnya bukan sebelahan sama kamu. Hehe. Jadi, aku memutuskan untuk tidur di
atas dek dengan matras. Makin lama selimut dan kasur terasa lengket, padahal
aku tidak berkeringat. *Mau keringetan
ngapain coba?* Sepertinya sih karena air garam. Akhirnya aku tidur di
kabin, walaupun justru di situ yang buat keringetan.
(bersambung ke Komodo esok hari)
(bersambung ke Komodo esok hari)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar