"Lagi ke Solo nih, min. Mau wisata kuliner. Yang enak buat siang-siang gini apa ya min?", sebuah twit yang sering mensyen akun twitter keren (#eaaa) yang saya kelola. Dengan sigap saya menjawabnya, "Bisa yang seger-seger di Timlo Sastro, Selat Vien, atau Soto Gading, Kak". Maklum, sebagai admin kita harus sok menguasai apa bidang kita. Ingat, sok menguasai. Hehe.
Sembilan tahun hidup di Solo, saya belum pernah mencicipi Soto Gading, makanan hits Solo, tetapi selalu sok tahu dan merekomendasikan untuk pendatang atau turis. Lalu biarlah ini menjadi rahasia kita. Ngahaha.
Namun akhirnya, sebuah siang beberapa minggu lalu saya memberanikan diri membelokkan stang motor saya ke parkiran Soto Gading. Saya bertandang untuk mencari tahu jawaban atas pertanyaan saya sendiri "Kok bisa sebuah warung soto tidak pernah sepi, -kecuali sedang tutup- dan didatangi orang sangar, termasuk pejabat dan artis? Seenak apa sih?"
Dewi fortuna berpihak pada saya dengan memberikan tempat duduk pojok, menghadap jendela dapur dan dekat pintu menuju toilet. Hmmm..
Sotonya datang. Rasanya lumayan, walaupun ternyata tidak se-wah yang saya bayangkan. Tampilannya pun sederhana. Masih belum terjawab pertanyaan saya. Tehnya enak, nasgitel (panas, legi, kenthel). Side dish yang tersaji banyak sekali; sate brutu, sate telur puyuh, paru goreng, tempe goreng, tahu & telur bacem, sosis solo, aneka krupuk, dan ah, masih banyak lagi, -malas sebut satu-satu.
sate brutu berbentuk hati <3 |
Mungkinkah karena cara masaknya yang unik, yang masih pakai tungku dan peralatan tradisional? Entahlah. Saya tidak mengerti. Pertanyaan saya masih belum terjawab.
Masak air pakai anglo |
Mama chef dan sebuah tungku |
seperangkat alat dapur |
Wah, nice info nih gan ^^
BalasHapusJadi nambah lagi referensi icip-icip ane nih. Thanks yaa
Sama-sama bro. Keep exploring :)
Hapus