Jumat, 23 Januari 2015

MesaStila, Eskapisme ke Masa Lalu (Part I)

Gerimis tipis, udara dingin, dan seorang lelaki tersenyum menyambut kami –saya dan Mbak Ani, saat kami turun dari mobil. Segera saya mengancingkan hem korduroi merah maroon saya untuk menghalau dinginnya sore itu di MesaStila Resort & Spa yang letaknya terkurung oleh delapan gunung; Merbabu, Merapi, Andong, Ungaran, Sindoro, Sumbing, Telomoyo, dan Prau. Mungkin karena secara geografis terletak di pinggiran Magelang, Losari, orang asli Magelang sendiri banyak yang tidak tahu menahu keberadaannya.

Setelah melakukan konfirmasi, lelaki itu mengantar kami sambil bercerita sedikit mengenai resort, menuju main office yang tak jauh dari reception.
main office. Foto by Mesastila
Seorang perempuan berkebaya warna kuning memperkenalkan diri dengan ramah. Namanya Mega. Cantik dan luwes. Sementara Mbak Mega mengurus proses check in, kami dipersilakan duduk dan disuguhi welcome drink, kalau saya tidak lupa, sih, jahe kencur, segar namun hangat. Mereka tahu betul apa yang kami butuhkan, walaupun tidak semua orang suka, termasuk Mbak Ani. 

selamat datang di Mesastila

Sambil duduk menyeruput jahe, saya mengamati interior bangunan main office yang bergaya Belanda ini. Tiangnya besar, pintunya sangat lebar dan tinggi, temboknya tebal dan bercat putih, dan lantainya keramik kuno. Hiasan natal menempel di tiap sudut bangunan.

mendekati Natal

Mbak Ani memesan tiga villa untuk rombongan rapatnya selama 5 hari 4 malam–kebetulan peran saya waktu itu hanya sebagai konsultan atau tukang pemberi rekomendasi hotel tempat rapat Mbak Ani dan para pejuang kesehatan lain di PMI. Kami datang paling awal, kami sesuka hati boleh memilih yang mana yang akan kami tempati. Ihik.

Arsitektur Jawa Kuno

Kami berjalan sekitar 10 menit menuju villa sambil ngobrol dengan Mbak Mega yang ramah, murah senyum, baik hati dan tidak sombong. Villa Ambar yang kami tempati merupakan villa yang terbesar di antara ketiganya. Terlihat dari luar, villa berbentuk joglo namun memiliki dua lantai, balkon, dan teras berpagar kayu. Lantai bawah didesain untuk rapat dan lantai atas untuk dua kamar tidur yang super luas. Lantai kamar terbuat dari kayu, sehingga setiap kali saya berjalan, membuat suara kayu bergesekan dan bisa didengar dari lantai bawah.

Villa ini memakai pasak dari kayu untuk menyatukan tiang dengan kayu penyangga atap, persis seperti rumah saya di desa yang perkembangannya 10 tahun lebih lambat dari desa di kota lain pada umumnya.


Pintu balkonnya juga klasik karena ada semacam ukiran seperti gebyok, partisi penyekat antar ruangan, di bagian atas dan dibuka dengan cara digeser. Rupanya tiga kursi santai sudah menunggu kami. Berbaring di kursi sambil menikmati rimbun pepohonan dan panorama bukit di sore hari dengan secangkir kopi hangat. Nikmat tuhan mana yang kau dustakan wahai manusia? Alhamdulillah, subhanalloh, masyaalloh, sempurna. Namun tidak untuk ngobrol santai di malam hari, karena udaranya akan kian dingin.

santai kayak di gunung

Kalau mau, kami bisa menyalakan lilin aroma terapi yang terdapat di beberapa sudut ruangan karena aroma kayu menyeruak kuat di seluruh penjuru ruangan. Terdapat lukisan penari bali, orang jaman dulu, buah-buahan, dan makhluk hidup lainnya di dinding villa. Semua fasilitas kamar yang berbahan kain berwarna putih. Kesannya bersih sekali. Saya suka sekali.

the aromatherapy


Mandi pun Terasa Menyenangkan

Panas setahun dihapus hujan sehari. Setelah dua hari  badan saya tak terbasuh air, kecuali mulut dan muka –hehe, karena air di kos sedang berbau comberan, akhirnya saya mendapatkan kesempatan mandi mewah di jacuzzi. Kran air saya nyalakan, suhu air saya atur sesuai dengan kemampuan tubuh, lalu saya masukkan kelopak bunga  mawar yang sudah disiapkan. Lilin aroma terapi pun saya nyalakan untuk menambah suasana romantis. (Laaaah, sama siapa Meh?) 

Ini kali pertama saya merasakan sensasi mandi air hangat bertabur kelopak bunga mawar di Jacuzzi tengah malam. *nyanyi mandi kembang tengah malam*. Aiiih. Lelah, letih, lesu, lunglai, dan lemas seolah sirna seketika berendam lebih dari setengah jam. Daki pun ikut luntur dari kulit. 

jakusi kapasitas dua orang. #eaaa

“Lu nggak ketiduran di situ kan Meh?” teriakan Mbak Ani dari ruang teve menyadarkan saya untuk segera beranjak sebelum saya mbedodog mateng dalam air hangat. Hehe.

Di kamar sebelah, pengalaman mandi lebih luar biasa, mengembalikan memori masa kecil saat mandi di sumur umum. Dinding kayunya hanya menutup hingga batas leher, agar mata bisa menikmati pemandangan luar rumah dan tubuh merasakan sentuhan angin sepoi-sepoi selagi mandi.  Terlebih, saat mandi keramas dengan siraman shower membuat saya merasa seperti menjadi Marimar. Ah, pasti ingat dong scene ini. Oops. Wangi shampoo dan sabunnya beraroma bunga kenanga. Lagi-lagi saya suka sekali. Serasa menyatu dengan alam. Untungnya sih, tidak ada tokek. Bisa keluar kamar mandi tanpa ... *to be continued di part II*

2 komentar:

  1. bathtub e guede tenan.... sayang mbok nggo dewean yo Meh. Eh beneran berendam dewean opo ono seseorang yg nggak kau tulis di sini ya? hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Tenin Koh. Aku dewean. Lagian roomateku cewek og. Hehe

      Hapus