Hari itu merupakan hari terakhir bulan kelima dan hari
terlalu sore saat saya dan 4 orang teman lain memutuskan untuk melepas kopling
dan menginjak gas mobil dari Magelang. Ini
kali pertama saya pergi ke dataran tinggi Dieng.
Meninggalkan Magelang dan Temanggung, kami memasuki area
Parakan dan udara makin dingin saat kami membuka kaca mobil. Syal langsung
melingkar di leher, sweater membungkus badan dan kupluk menutup kepala saya.Dari
Parakan menuju Dieng, kami mengandalkan GPS sebagai pembimbing. Kami melewati lereng Gunung Sindoro. Jalan makin
menyempit, menanjak, dan tidak menunjukkan adanya kehidupan manusia di
sekitaran. Kami mulai meragukan arahan GPS. Saat hati kami bimbang, GPS akhirnya berkata “sinyal GPS hilang”. Jika ada lubang di jalan, mungkin mesin GPS pun tahu.
Kami teruskan hingga akhirnya bertemu dengan beberapa orang untuk
kami tanyai. Petunjuk baru didapat, perjalanan dilanjutkan. Makin naik, jalan
makin berantakan. Mobil tipe city car kami tampak kepayahan, bukan karena
jalanan menanjak dan rusak, tapi karena berat badan lima manusia di dalamnya. Jadilah,
mobil goyang dalam artian sebenarnya. Sayangnya sinyal radiopun tidak
terdeteksi, karena sebenarnya kami mau sempurnakan dengan dangdut. Di luar
begitu gelap, hingga kami bisa melongo menyaksikan bimasakti dan
bintang-bintang yang sangat jelas dan berserakan di langit. Pemandangan di
kanan kirinya mungkin juga memesona di saat terang.
Setelah selama satu jam tersiksa di jalanan biadab itu, akhirnya
kami tiba di homestay dengan gigi gemerutuk. Entah berapa suhu malam itu,
menginjak karpet saja bak menginjak es. Buru-buru saya menyabet celana panjang yang
sudah saya pakai untuk menembus semak belukar di pagi harinya dan memakai kaos
kaki. Walaupun bagian tubuh yang sensitive dingin sudah tertutup, tetap saja
masih membuat hidung saya tak berhenti mengalirkan cairan kental nan bening. Iya,
ingus. Dalam beberapa menit, kami meminum kopi dingin, dan mencicip mendoan
beku yang sebelumnya datang dalam keadaan panas. Kami tak bertahan lama
berjalan-jalan di luar.
Itinerary kami standar saja, seperti wisatawan pada umumnya.
Kami harus mendaki Sikunir untuk sebuah momen matahari terbit. Antrean untuk
parkiran begitu panjang, maklum hari libur. Petugas parkir tak cekatan mengarahkan
pengendara mobil untuk parkir. Huft.
Tak ada kendala naik menaiki Sikunir selama 30 menit. Tapi di
saat tiba di spot-spot sunrise, saya justru seolah melihat pasar. Memang ada penjual
dan ada pembeli dengan kopi panas, mie cup dan snack sebagai barang
komoditasnya. Walaupun begitu, saya tetap bisa menikmati pemandangan saat
semburat oranye mulai menyeruak dari langit timur, memudarkan siluet dan
menampakkan tekstur Sumbing, Prau, Merapi, Merbabu yang di sisi kanan.
Syahdan,
syahdu terasa, sebelum semua orang berteriak dan bertepuk meriah saat sang
pusat tata surya terlihat menyembul dari balik pegunungan. Dalam hati saya
bertanya, apakah mereka tak pernah menyaksikan proses matahari terbit
sebelumnya? Mungkin mereka orang kota, orang sibuk, orang kurang piknik. Hmmm..
Photoception |
Sunrise Sikunir |
Jalanan macet vroh |
Telaga Cebongan |
Sampah dong! |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar