Sabtu, 07 Juni 2014

Dieng; Manusia, Sikunir, Cebongan, dan Sampah

Hari itu merupakan hari terakhir bulan kelima dan hari terlalu sore saat saya dan 4 orang teman lain memutuskan untuk melepas kopling dan menginjak gas mobil dari Magelang. Ini kali pertama saya pergi ke dataran tinggi Dieng.

Meninggalkan Magelang dan Temanggung, kami memasuki area Parakan dan udara makin dingin saat kami membuka kaca mobil. Syal langsung melingkar di leher, sweater membungkus badan dan kupluk menutup kepala saya.Dari Parakan menuju Dieng, kami mengandalkan GPS sebagai pembimbing. Kami melewati lereng Gunung Sindoro. Jalan makin menyempit, menanjak, dan tidak menunjukkan adanya kehidupan manusia di sekitaran. Kami mulai meragukan arahan GPS. Saat hati kami bimbang, GPS akhirnya berkata “sinyal GPS hilang”. Jika ada lubang di jalan, mungkin mesin GPS pun tahu.

Kami teruskan hingga akhirnya bertemu dengan beberapa orang untuk kami tanyai. Petunjuk baru didapat, perjalanan dilanjutkan. Makin naik, jalan makin berantakan. Mobil tipe city car kami tampak kepayahan, bukan karena jalanan menanjak dan rusak, tapi karena berat badan lima manusia di dalamnya. Jadilah, mobil goyang dalam artian sebenarnya. Sayangnya sinyal radiopun tidak terdeteksi, karena sebenarnya kami mau sempurnakan dengan dangdut. Di luar begitu gelap, hingga kami bisa melongo menyaksikan bimasakti dan bintang-bintang yang sangat jelas dan berserakan di langit. Pemandangan di kanan kirinya mungkin juga memesona di saat terang.

Setelah selama satu jam tersiksa di jalanan biadab itu, akhirnya kami tiba di homestay dengan gigi gemerutuk. Entah berapa suhu malam itu, menginjak karpet saja bak menginjak es. Buru-buru saya menyabet celana panjang yang sudah saya pakai untuk menembus semak belukar di pagi harinya dan memakai kaos kaki. Walaupun bagian tubuh yang sensitive dingin sudah tertutup, tetap saja masih membuat hidung saya tak berhenti mengalirkan cairan kental nan bening. Iya, ingus. Dalam beberapa menit, kami meminum kopi dingin, dan mencicip mendoan beku yang sebelumnya datang dalam keadaan panas. Kami tak bertahan lama berjalan-jalan di luar.

Itinerary kami standar saja, seperti wisatawan pada umumnya. Kami harus mendaki Sikunir untuk sebuah momen matahari terbit. Antrean untuk parkiran begitu panjang, maklum hari libur. Petugas parkir tak cekatan mengarahkan pengendara mobil untuk parkir. Huft.

Tak ada kendala naik menaiki Sikunir selama 30 menit. Tapi di saat tiba di spot-spot sunrise, saya justru seolah melihat pasar. Memang ada penjual dan ada pembeli dengan kopi panas, mie cup dan snack sebagai barang komoditasnya. Walaupun begitu, saya tetap bisa menikmati pemandangan saat semburat oranye mulai menyeruak dari langit timur, memudarkan siluet dan menampakkan tekstur Sumbing, Prau, Merapi, Merbabu yang di sisi kanan.
Photoception
Syahdan, syahdu terasa, sebelum semua orang berteriak dan bertepuk meriah saat sang pusat tata surya terlihat menyembul dari balik pegunungan. Dalam hati saya bertanya, apakah mereka tak pernah menyaksikan proses matahari terbit sebelumnya? Mungkin mereka orang kota, orang sibuk, orang kurang piknik. Hmmm..
Sunrise Sikunir 
Sikunir makin terang. Matahari mulai menyorot kuat. Orang-orang mulai berjalan turun. Saya melirik ada botol minuman sengaja ditinggal. Saya pungut dan masukkan ke kantong plastik. Semakin mata saya berkeliaran ke kanan dan kiri, makin terlihat banyak tissue, plastik snack, gelas mie instan, botol minuman lain, bungkus permen, dan ragam sampah lainnya. Saat saya mengambili sampah itu, banyak yang memandangi saya. Tetapi saya tak mau menafsirkan pandangan itu. Saya hanya berpikir mereka (yang membuang sampah) mempunyai pikiran yang terbalik. Saat naik membawa bekal makanan/minuman yang isinya masih utuh pastinya lebih berat dibanding saat sudah tersisa bungkus/botolnya saja. Tapi mereka tetap enggan membawa turun dan membuang di tempat yang semestinya. Sepanjang perjalanan saya turun, saya mengumpulkan dua kantong plastik sampah. Manusia! Saya tidak habis pikir jalan pikiran mereka.
Jalanan macet vroh
Tiba di kaki bukit, kami mencoba melihat telaga Cebongan. Wuih! Sudah banyak doom, -kata seorang temen, dulu sedikit. Dan sampah. Hehe. Sudahlah. Aku kudu piye?
Telaga Cebongan
Sampah dong!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar