Minggu, 08 Juni 2014

Menembus Kabut, Menuju Stumbu

Saya bukanlah morning person. Tapi jika dijanjikan sebuah sunrise yang memukau, pendirian saya akan mudah goyah. Dan kali ini adalah bukit Punthuk Setumbu, Magelang. Siapa kuat hati menolak?

Pukul 4, sebelum azan subuh, saya dan teman-teman harus melawan gaya gravitasi yang ditimbulkan oleh kasur tipis yang kami tiduri selama 2 jam. Segera saja kami membasuh muka dan menggosok gigi untuk membangunkan indera-indera kami. Tak ada waktu untuk bongkar muatan perut, walaupun terasa slemat-slemet, kata orang Jawa.

Kami berangkat dari rumah kawan di desa Tanjung, Magelang, menembus jalanan kecil nan mulus. Kendaraan terus melaju menembus gelap dan kabut nan pekat. Kawan saya menunjukkan landmark di kanan kiri jalan, tapi sama sekali tak terlihat karena jarak pandang hanya sekitar 5 meter saja. “Pokoknya saya terima sampai di tempat parkir saja, Mas,” seru saya.

Di parkiran yang tidak terlalu luas, sudah terdapat 2 elf panjang dan beberapa mobil. Ternyata tidak sesepi yang saya duga, justru sudah terkesan touristy.

Sekitar 500 meter trekking ringan,akhirnya kami sampai di puncak bukit. Berhubung postur tubuh saya yang agak mini tapi juga agak lebar, saya harus berdiri di atas bale-bale bambu doraemon *itu baling-baling* agar pemandangan tidak terbingkai oleh kepala-kepala bule.

Dan pagi itu, Tuhan Yang Maha Baik memperbolehkan kami melihat keagunganNya melalui kemegahan sang matahari yang diam-diam mengintip di balik punggung Merbabu dan Merapi. Borobudur yang semula terselimut kabut, saat itu pelan-pelan tersingkap dan mulai terlihat jelas julangan puncak stupanya. Saat menoleh ke arah yang berlawanan, terlihat perbukitan karst Menoreh. Saya terpukau sambil menahan hasrat kebelet. (Sebenarnya ada satu toilet di lokasi, namun antreannya buat makin nggak nahan).


Merbabu - mentari - Merapi
Majestic Borobudur
hasil manjat bale-bale
the pros

Ada sebuah benda yang membuat saya bertanya-tanya di bukit ini. Adalah sebuah potongan batang pohon yang setinggi kurang lebih 1 meter dan di atasnya terdapat papan melintang. Benda ini seperti tempat untuk meletakkan sesuatu.

Pertanyaan saya itupun terjawab saat matahari merangkak naik. Tersangkanya di bawah ini. Hehe
Konon adalah Bp. Sulaiman

Tidak ada maksud apa-apa. Waktu saya ketahui bahwa si kakek duduk membawa sabit sambil menghisap rokok, saya yakin, tempat itu adalah spot si kakek untuk berpose untuk berfoto. Kakek ini yang sempat saya cari-cari, karena selalu masuk di blog bersama Punthuk Stumbu. Ternyata punya tempat spesial untuk berfoto. Bagaimana tidak dia dijadikan objek fotografi, lha wong wajah, pose dan postur tubuhnya sangat fotojenik. Sebenarnya saya jual mahal untuk tidak memotret si kakek, tapi kawan saya terus menyuruh saya membuktikan bahwa saya bisa memotret. *ya bisalah, tinggal pencet tonbol shutter, haha. Nurut ngana?*. Tentunya si kakek pun begitu sadar kamera.

Jadi, tidak hanya bentang alam yang menakjubkan yang bisa dijadikan objek foto, tetapi juga si kakek yang selalu siap sedia nongkrong dengan rokok dan sabitnya. Okesip! *melipir ke toilet*.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar