Selasa, 17 Maret 2015

Wisata Desa Bukan Desa Wisata



Sawah menghijau terhampar luas berlatarbelakangkan gunung Merapi dan Merbabu, rombongan biri-biri sedang digembala seorang lelaki tua, beberapa burung blekok hinggap di pematang sawah dan kami berkendara sambil menikmati pemandangan ala desa tersebut menuju salah satu desa di Sentolo, Kulon Progo. 

Sesampainya di tempat yang kami tuju, kami disambut lelaki berambut gondrong dengan senyum sumringah. Sebut saja Mas Towil. Tak ada basa basi yang lama, Mas Towil langsung mempersilakan kami untuk memilih sepeda onthel yang kami mau. Yap. Kami akan berkeliling desa dengan sepeda onthel klasik. 

Sudah lama sekali saya tidak menggenjot pedal sepeda tua seperti ini. Terakhir waktu saya masih ngelap ingus di bangku SD. Beneran. Saya belajar nunggang sepeda onta milik bapak saya. Kini sepeda itu entah di mana, bisa jadi sudah menjadi milik Mas Towil ini atau justru barangkali yang saya naiki ini. Hmmm… Tuhan yang tahu. 

Sebelumnya, Mas Towil sudah memberi gambaran tentang wisata desa yang akan dia pandu. Jika kami beruntung, kami akan bertemu dengan orang-orang dengan mata pencaharian yang bermacam-macam. Nanti juga akan disinggahi. Jika beruntung lho. 

Kami mengayuh sepeda keluar dari rumah Mas Towil menyusuri jalan kampung. Tak terlalu mulus sih, hanya saja rindang karena masih banyak pepohonan di sekitar rumah. Beberapa kali kami melewati jalan yang dilalui rel kereta api. Jika sedang membawa turis dan kebetulan akan ada kereta api yang lewat, mereka akan berhenti sejenak dan Mas Towil bercerita tentang rel yang dibuat pada masa kolonial Belanda. 


Perjalanan berlanjut dengan bersepeda di tepian kanal. Jalan yang dilalui adalah jalan setapak yang terlihat becek sehabis hujan. Belum lagi banyak kambing yang sedang main gundu di sekitaran pinggir kanal. Makin sempit jalannya. Saya kan jadi jiper. Saya takut kalau tiba-tiba ban sepeda saya iseng lari ke kanal.


Akhirnya Mas Towil berhenti dan mengajak kami mampir ke sebuah rumah. Duduk di teras seorang nenek yang sudah sangat sepuh. Melihat Mas Towil, beliau langsung memeluk erat seolah-olah Mas Towil adalah Bang Toyib. Beliau adalah Mbah Semi. Seperti namanya, Mbah Semi ini, terus bersemi walaupun usianya sudah berkepala tujuh. Beliau adalah seorang pengrajin/penenun semacam tikar, tapi bukan tikar yang terbuat dari semacam daun pandan kering. Ah, saya lupa namanya. Maaf. Mbah Semi adalah seorang yang ramah, tertawanya pun renyah. Pokoknya menyenangkan.

Makin jauh sepeda kami kayuh dan melewati persawahan lagi, kami mampir di rumah, sebut saja (lagi) Bu Sari. Beliau menenun stagen. Ngomong-ngomong tentang stagen, saya langsung melihat perut, soalnya, stagen itu kain panjang buat ngurusin perut itu lho. Sambil mencomot utri yang ada di meja makan, (ketela parut yang dikukus dan di tengahnya ada gula jawa) -karena sudah dipersilakan- saya mendengarkan Bu Sari bercerita bahwa beliau hanya menenun untuk 5 meter kain stagen sebanyak 2 buah dan sebuahnya diupah lima ribu rupiah. Tapi itu hanya sambilan saja, karena bertani masih menjadi tumpuan hidupnya. 

Pun, kami berhenti sejenak di sebuah jembatan irigasi yang dipakai untuk pengairan di sawah-sawah sekitar. Selanjutnya, kami ditunjukkan gubug di pinggir jalan yang biasanya digunakan untuk rehat turis-turis saat bersepeda. 

Kami juga diajak melihat budidaya jamur tiram dan jamur merang. Sayangnya, tidak ada jamur bahagia. Eh. Pemberhentian selanjutnya adalah di tempat pembuatan ketupat yang seharinya bisa membuat seribu buah. Andai saja membuat ketupat mempunyai mitos seperti membuat paper cranes, mereka sudah punya apa saja yang mereka mau. Hehe. Masih ada juga pembuatan tempe dan tas dari daun pandan yang kita singgahi. Sungguh desa-desa multi-home-industry. 

Mas Towil ini memang “seseorang”, karena beliau yang memperkenalkan desa dan membawa banyak turis untuk mengenal desanya. Saya juga sebenarnya orang desa. Desa saya pun tak jauh beda dengan apa yang saya lihat tadi. Sawah luas, banyak orang yang memelihara hewan ternak dan digembala, masih ada rumah dari papan kayu, ada kanal pula, kali pun dekat. Bedanya, jalan di desa saya membuat orang ingat dengan penciptaNya karena setiap orang yang melalu, pasti istighfar. Bedanya lagi adalah di saya. Saya tidak pernah srawung aka bersosialisasi. Pulang kampung saja jarang. 

Hari semakin sore, kami bersepeda kembali menuju Mas Towil. Sambil mengayuh sepeda, Mas Towil menegur ibu-ibu yang sedang mencabuti gulma di sawah. Tak hanya sekali dua kali, setiap berpapasan dengan orang, Mas Towil selalu menyapa, atau setidaknya berkata permisi. Semua orang yang kami jumpai dan kami sapa, menyahut sapaan kami dengan suara yang riang. Damainya. Wahai.


P.S. beberapa foto personel lengkap, diambil oleh Mas Towil.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar