Tampilkan postingan dengan label adventure. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label adventure. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 28 September 2013

Stealing Wonder from Getting Lost


“Not all who wander are lost”. Kutipan dari J.R.R. Toelkien, penulis The Lord of The Ring, yang sering saya dengarkan dan saya baca ini tiba-tiba terngiang-ngiang di telinga begitu perjalanan saya waktu itu di Kinabalu seolah tak berujung. Saya tepuk jidat. Kalimat itu seolah tak berlaku untuk saya saat itu. Saya benar-benar tersesat di negeri orang. Sungguh, tidak ada kesengajaan dari saya untuk menyesatkan diri, terlebih di tempat yang asing.

Kota Kinabalu, 27 Januari 2013


Riuh rendah di luar hostel pukul 5 pagi membangunkan saya. Hari masih gelap, sinar matahari belum memaksa menerobos melalui kisi-kisi jendela. Saya sedikit menyibak gorden jendela, mengintip, penjual di Kota Kinabalu (KK)  mulai membuka dan menata lapak jualan mereka. Ada pasar Minggu. Saya dan dua travel mate bergegas berkemas dan check out, berjalan melalui hiruk pikuk pasar menuju pangkalan bus untuk menuju kawasan Gunung Kinabalu di Kundasang. 

bus menuju Pasar Kundasang


Seat di minibus sudah didapat, kami duduk manis sambil menikmati pemandangan bukit dan lembah sepanjang perjalanan dari KK menuju Kundasang selama dua jam. Kami turun di Pekan (pasar) Kundasang. Berbekal peta dari google, saatnya kami mencari hotel Seri Kinabalu Resort yang sudah dipesan melalui website.

Sekitar Pekan Kundasang
Tak perlu naik kendaraan umum lagi, karena letaknya di peta hanya sekitar satu kilometer ke arah barat dari Pekan Kundasang. “Ah, itu kecil buat kita”, pikir kami. Satu kilometer dari pasar sudah tertempuh. Seharusnya hotel sudah dekat, tapi tak nampak sedikitpun tanda-tanda adanya hotel. Tidak. Dua kilometer. Kami tanya penduduk yang terlihat di sekitar, tak ada yang tahu hotel tersebut. “Lho, masak google salah sih?” kami mulai meragukan keberadaan hotel dan google. 


Km 1

Km 2 yang katanya mirip Swiss, iya ga sih?
Kami berjalan kaki di jalanan yang menanjak, matahari semakin menantang di atas kepala dan begitu menyengat, udara kian panas hingga kami harus melepas jaket yang menempel di badan sedari berangkat tadi. Cukup aneh memang, karena Kundasang merupakan kawasan pegunungan, tapi temperatur tinggi. Sepertinya sudah tiga kilometer. Kami tersesat. 


Perjalanan yang semula kami nikmati, kini mulai kami keluhi. Tak banyak lalu lalang kendaraan. Tapi kami coba acungkan jempol pada setiap mobil yang melewati, tak satupun berhenti dan memberikan tumpangan. Keringat mulai benar-benar membasahi kaos, seperti orang habis tersiram air. Berkali-kali kami mengelap dahi yang berpeluh. Tak ada tempat teduh, kanan kiri rumput gajah. Haus, namun bekal air minum tersisa sedikit. Aduh, sial!

Di ujung tikungan, ada sebuah bangunan kecil. Kami putuskan untuk beristirahat sejenak di situ. Warung! Syukurlah, batin saya. Yes, makan! Energi kami mulai menipis. Sambil melahap mie instan layaknya gelandangan, kami ngobrol dengan penjaga warung yang juga sekaligus petani kubis. Kami juga ditemani seorang laki-laki, sebut saja Mas Bambang, yang ternyata orang Magetan. Jauh-jauh hingga ke Kinabalu, ketemu orang Jawa. Kami menyimaknya berkisah tentang perantauannya yang berat.


A meal and a view
Hingga akhirnya penat telah luruh, giliran kami bercerita tentang ketersesatan kami. Mas Bambang lalu menelpon temannya untuk meminta tolong mengantar kami. Sambil menunggu dan meneruskan bercengkerama di tepian jalan, kami memandangi jalan yang telah kami lewati. “Seperti di Swiss!” kata dua teman saya yang pernah berkelana ke Eropa. Rumput gajah di kanan kiri jalan yang tanpa pepohonan terlihat bak padang yang membentang. Indah. “Wow!” saya hanya mampu berseru. 


Km 3, kilometer terakhir saat kami menyerah.
Di kala menunggu
Akhirnya, teman Mas Bambang datang, kami pun segera berpamitan, berterima kasih terhadap bantuannya dan masuk ke mobil untuk diantar kembali ke Pekan Kundasang dan mencari petunjuk di mana keberadaan hotel yang misterius tadi. Walaupun teman Mas Bambang pun tak pernah mendengar hotel yang kita tuju, tapi dia bersedia mengantar kami bertanya sana-sini. Dan, akhirnya, kami mendapat jawaban. Lalu dimana? Entah siapa yang memasang gambar hotel di google diletakkan di arah barat Pekan Kundasang. Itu salah! Menjerumuskan! Letaknya satu kilo di arah utara Pekan Kundasang. Ah! Kami sempat memaki-maki sendiri, tapi tak tahu siapa yang harus dimaki, entah manajemen hotel, entah google, entah staff IT hotel atau staff website reservasi itu.


Tiba kami di pekan, kami bertanya ongkos, ternyata sudah dibayar oleh Mas Bambang. Kami semakin merasa berhutang padanya. Dan sesungguhnya ketersesatan kami tidaklah buruk. Kami justru diminta untuk melihat pemandangan menakjubkan dan bertemu saudara dari Jawa. 

Saat tiba di hotel, walaupun penampakan dan fasilitasnya jauh dari ekspektasi, tapi sekitarnyalah yang memanjakan mata kami.
The hotel. Dinding penuh kotoran kelelawar dan kurang terawat dan tertata.

Yet, getting lost is not always bad, dude! See these!!
Puncak Gn. Kinabalu dilihat dari belakang hotel

Puncak Gn. Kinabalu dilihat dari samping kanan hotel

The taken care beauty

Jumat, 15 Februari 2013

To Sumba, To Savanna



Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Di mana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh
Rinduku pada sumba adalah rindu seribu ekor kuda
Yang turun menggemuruh di kaki bukit-bukit yang jauh


My longing to Sumba is yearning for the wide open savanna
Where the sun is like a fireball, season dries and cattle moo
My longing to Sumba is yearning for horses of a thousand
Which rumbling down in the distant mound


I may not be able to translate the last stanza of Taufiq Ismail’s “Beri Daku Sumba” (Give me Sumba) into a perfect poetic and rhythmic stanza. The entire poem I found some times ago do really make me want to meet the nature and culture of Sumba, an island in the middle-south Indonesia, the province of East Nusa Tenggara.  




I can see myself sitting down on grass under a tree while looking at the vast savanna. I imagine it to be like English village prairie or New Zealand meadow wrapped by the heat of typical tropical weather of a country under the equator line.

I am pretty sure that there will also be dozens or even hundreds of horses herded by the locals. Hearing the galloping of their feet and watching them running and racing in the grassland ridden by their masters looking like cowboy may lure me to ride one of them. I want to walk among the shoot of the wild grass and savor the touch of the afternoon wind.




As horses have been parts of the Sumbanese everyday life overtime, until the tradition of “Pasola” to collide muscle and power upon the horse’s brisket with a stick or “sola” now being a folk games attraction which should not be missed for everyone visiting the island, including me.



I don’t exactly know since when I love prairie, pasture, grassland, meadow, lea, sward or whatsoever it is called and picture me laying down on it. But, hey! I do not wish for laying under the heat of the sun on it for sure.

Dream, i dream about Sumba.