Belajar tentang Kopi dan Beragam Aktivitas
Saya membaca lagi jadwal aktivitas harian yang bisa dilakukan saat menginap di resort, yang telah diberikan oleh Mbak Mega sebelumnya. Manajemennya sangat kreatif dengan menyusun itinerary harian yang berbeda dengan bermacam-macam kegiatan unik untuk mengisi waktu selama tinggal di resort. Program kegiatannya untuk menjaga kesehatan dan mempertahankan budaya dan kesenian lokal. Ada penyajian jamu, yoga, tour kopi, kelas menari, kelas gamelan, kelas membuat kerajinan dari janur, jungle gym dan lain-lain. Bebas pilih yang mana.
Waktu menunjukkan pukul 9 pagi. Karena belum semua orang berkumpul, saya menyempatkan berjalan-jalan di sekitaran main office. Kaki dan mata saya pun berpetualang di sekeliling gedung. Di bagian depan, terdapat kolam air mancur kecil yang dinamai wishing pond, yang dilingkari oleh bunga lili hujan warna putih. Sungguh cantik. Ada pula Labyrinth, bebatuan yang telah disusun sedemikian menyerupai jalur labirin untuk ritual refleksi kaki. Di Labyrinth itu juga terdapat gong yang entah apa fungsinya, mungkin untuk ditabuh saat memulai ritual berjalan di labirin batu itu. Di sudut gedung terdapat balai kuno berhias kelambu putih yang melambai-lambai tertiup angin pagi. Halaman belakang dibuat menjadi arena catur raksasa. Di sampingnya, ada kursi taman yang cocok untuk santai sore.
Saya membaca lagi jadwal aktivitas harian yang bisa dilakukan saat menginap di resort, yang telah diberikan oleh Mbak Mega sebelumnya. Manajemennya sangat kreatif dengan menyusun itinerary harian yang berbeda dengan bermacam-macam kegiatan unik untuk mengisi waktu selama tinggal di resort. Program kegiatannya untuk menjaga kesehatan dan mempertahankan budaya dan kesenian lokal. Ada penyajian jamu, yoga, tour kopi, kelas menari, kelas gamelan, kelas membuat kerajinan dari janur, jungle gym dan lain-lain. Bebas pilih yang mana.
Waktu menunjukkan pukul 9 pagi. Karena belum semua orang berkumpul, saya menyempatkan berjalan-jalan di sekitaran main office. Kaki dan mata saya pun berpetualang di sekeliling gedung. Di bagian depan, terdapat kolam air mancur kecil yang dinamai wishing pond, yang dilingkari oleh bunga lili hujan warna putih. Sungguh cantik. Ada pula Labyrinth, bebatuan yang telah disusun sedemikian menyerupai jalur labirin untuk ritual refleksi kaki. Di Labyrinth itu juga terdapat gong yang entah apa fungsinya, mungkin untuk ditabuh saat memulai ritual berjalan di labirin batu itu. Di sudut gedung terdapat balai kuno berhias kelambu putih yang melambai-lambai tertiup angin pagi. Halaman belakang dibuat menjadi arena catur raksasa. Di sampingnya, ada kursi taman yang cocok untuk santai sore.
Kini Mbak Mega memegang kendali
tour dan memulainya dengan menceritakan kepada kami tentang sejarah MesaStila. “Dulunya,
MesaStila merupakan perkebunan kopi milik seorang Belanda yang rumahnya kini
menjadi Club House ini” kata Mbak Mega seraya menunjuk pada main office. Tak
jauh berbeda dengan villa-villanya yang dibawa langsung dari beberapa daerah yang
khas dengan bangunan dan furniture jawanya, seperti Kudus. Siapa sangka
gedung paling depan yang difungsikan sebagai lobi dan reception merupakan bekas
stasiun Mayong yang diambil juga dari Jepara, tanpa mengubah desain. Saya yang baru tahu
hanya manggut-manggut keheranan.
Saat kami melangkah menuruni
tangga dan memasuki kebun kopi, kami melihat biji kopi yang masih kecil dan
hijau. “Iya Mbak, sayangnya musim panen sudah berlalu, biasanya di bulan Juli-September
di tiap tahunnya. Pada masa panen itu, pengunjung boleh ikut memetik biji
kopinya”, tutur Mbak Mega. Hmm, tapi sepertinya lebih lumayan untuk kerja serabutan.
Dari 22 hektar luas MesaStila, separuhnya digunakan untuk kebun kopi,
separuhnya lagi untuk fasilitas resort yang lain. Pantas saja staff-staff di
sini terlihat ramping mempesona. Setiap hari jalan mengitari 11-22 hektar. Meeeeeeeeen!
Mau beli tiket ke mana, Kak? |
Terdapat empat jenis kopi yang
ditanam di kebun. Ada Robusta, Arabika, Ekselsa dan Andong (Jawa). Dari keempat
jenis kopi tersebut, robustalah yang mendominasi perkebunan karena paling
produktif, namun penanamannya banyak diokulasikan dengan Arabika. Sambil berjalan,
Mbak Mega lantas memetik beberapa daun kopi untuk menjelaskan perbedaannya
berdasarkan morfologi daunnya. Jenis kopi bisa dikenali berdasarkan lebar daun.
Kalau saya tidak lupa, urutan jenis kopi dari daun yang paling kecil adalah
Exelsa, Robusta, Arabika dan Andong (Jawa). TKKSK (tolong koreksi kalau saya
keliru) ya. Cc: Mbak Mega.
ini lho yang namanya Mbak Mega |
Jangan dikira 11 hektar hanya
ditumbuhi kopi saja. Masih ada pohon durian, tanaman kecombrang, pohon randu, buah
pepaya, alpukat, nanas, dan yang paling saya suka, pete. Semuanya organik. Kami melewati
kandang kambing yang kotorannya diolah menjadi kompos. Jadi, makanan di
restoran dapat diketahui berasal dari mana. Hehe. Ga semua juga kali ya.
Perjalanan berhenti saat kami sampai pada sebuah pondok kayu di mana proses pengolahan biji kopi dilakukan. Ada mesin pengering
biji kopi yang masih menggunakan bahan bakar kayu. Di luar pondok, terdapat
lahan untuk penjemurannya. Untuk menjadikannya menjadi kopi bubuk, alat
gilingnya masih tradisional pula. Pengunjung boleh memutar tuas penggilingnya
lho. Bebas.
Tak hanya itu, saat istirahat
setelah mengelilingi kebun kopi, kami mendapat suguhan biji kopi. *berubah jadi luwak*. Biji kopinya dihidangkan dengan gula jawa yang dimakan
secara bersamaan. Rasanya seperti kopi. Luar biasa. Lebih tepatnya seperti permen
kopi. Dan sebenarnya, membuat ketagihan. Sambil berbincang, senda gurau, kami menikmati pemandangan pepohonan yang
sedang diguyur hujan dari pondok kopi.
Icip-icip kopi bakar |
gelas dan pengaduknya, dong! |
Sebenarnya kami masih akan diajak
melihat kebun sayur dan buah, dan melewati kandang kuda. Namun sayang, hujan
sepertinya tidak akan mereda dalam waktu singkat. Kami memilih kembali ke
villa. Sementara rombongan Mbak Ani rapat, saya menikmati siang yang hujan di
kamar. Dingin nan syahdu.
Sekian.