Kamis, 26 Maret 2015

Kerja




“Pagi ini kita ngapain?” tanya saya kepada teman sekantor.
“Fesbukan ae”, balasnya.
“Halah”

Dialog seperti itu sering saya lontarkan akhir-akhir ini. Selain karena tugas untuk bulan ini sudah terselesaikan semua, bagian operasional bilang memang sedang tidak ramai bookingan. Alhasil, kami banyak melongo di kantor.

Bekerja di bidang pariwisata memang layaknya petani. Ada kalanya musim tanam, ada kalanya musim panen. Bulan ini harusnya masuk masa tanam untuk para wisatawan yang booking untuk masa panen di musim panas pertengahan tahun untuk belahan bumi yang lain.

Harusnya juga, masa tanam yang kosong dan lama ini saya bisa memupuk otak saya yang mulai kering dan meranggas. Tapi nampaknya memang saya bukan tipe orang yang penuh dengan ide kreatif dan inovatif. Saya lebih suka menunggu perintah dari Pak Bos.

Bukan merupakan sebuah pembenaran, tetapi yang namanya tipe manusia kan ada banyak. Terlebih untuk pekerjaan. Tidaklah mungkin semua orang mempunyai kompetensi untuk memimpin. Tidak semua orang memiliki kompetensi untuk membuat ide marketing. Sudah ada bagiannya sendiri-sendiri lah. Kalau kata temen saya yang Londo, "don't be so hard on yourself".

Tapi juga itu merupakan pilihan sih.  Yang jelas saya mau ngerjain pekerjaan saya saat ini, mikir kerjaan saya yang lagi nggak ada kerjaan. Muehehe. Mangap Pak Bos.

Selasa, 17 Maret 2015

Wisata Desa Bukan Desa Wisata



Sawah menghijau terhampar luas berlatarbelakangkan gunung Merapi dan Merbabu, rombongan biri-biri sedang digembala seorang lelaki tua, beberapa burung blekok hinggap di pematang sawah dan kami berkendara sambil menikmati pemandangan ala desa tersebut menuju salah satu desa di Sentolo, Kulon Progo. 

Sesampainya di tempat yang kami tuju, kami disambut lelaki berambut gondrong dengan senyum sumringah. Sebut saja Mas Towil. Tak ada basa basi yang lama, Mas Towil langsung mempersilakan kami untuk memilih sepeda onthel yang kami mau. Yap. Kami akan berkeliling desa dengan sepeda onthel klasik. 

Sudah lama sekali saya tidak menggenjot pedal sepeda tua seperti ini. Terakhir waktu saya masih ngelap ingus di bangku SD. Beneran. Saya belajar nunggang sepeda onta milik bapak saya. Kini sepeda itu entah di mana, bisa jadi sudah menjadi milik Mas Towil ini atau justru barangkali yang saya naiki ini. Hmmm… Tuhan yang tahu. 

Sebelumnya, Mas Towil sudah memberi gambaran tentang wisata desa yang akan dia pandu. Jika kami beruntung, kami akan bertemu dengan orang-orang dengan mata pencaharian yang bermacam-macam. Nanti juga akan disinggahi. Jika beruntung lho. 

Kami mengayuh sepeda keluar dari rumah Mas Towil menyusuri jalan kampung. Tak terlalu mulus sih, hanya saja rindang karena masih banyak pepohonan di sekitar rumah. Beberapa kali kami melewati jalan yang dilalui rel kereta api. Jika sedang membawa turis dan kebetulan akan ada kereta api yang lewat, mereka akan berhenti sejenak dan Mas Towil bercerita tentang rel yang dibuat pada masa kolonial Belanda. 


Perjalanan berlanjut dengan bersepeda di tepian kanal. Jalan yang dilalui adalah jalan setapak yang terlihat becek sehabis hujan. Belum lagi banyak kambing yang sedang main gundu di sekitaran pinggir kanal. Makin sempit jalannya. Saya kan jadi jiper. Saya takut kalau tiba-tiba ban sepeda saya iseng lari ke kanal.


Akhirnya Mas Towil berhenti dan mengajak kami mampir ke sebuah rumah. Duduk di teras seorang nenek yang sudah sangat sepuh. Melihat Mas Towil, beliau langsung memeluk erat seolah-olah Mas Towil adalah Bang Toyib. Beliau adalah Mbah Semi. Seperti namanya, Mbah Semi ini, terus bersemi walaupun usianya sudah berkepala tujuh. Beliau adalah seorang pengrajin/penenun semacam tikar, tapi bukan tikar yang terbuat dari semacam daun pandan kering. Ah, saya lupa namanya. Maaf. Mbah Semi adalah seorang yang ramah, tertawanya pun renyah. Pokoknya menyenangkan.

Makin jauh sepeda kami kayuh dan melewati persawahan lagi, kami mampir di rumah, sebut saja (lagi) Bu Sari. Beliau menenun stagen. Ngomong-ngomong tentang stagen, saya langsung melihat perut, soalnya, stagen itu kain panjang buat ngurusin perut itu lho. Sambil mencomot utri yang ada di meja makan, (ketela parut yang dikukus dan di tengahnya ada gula jawa) -karena sudah dipersilakan- saya mendengarkan Bu Sari bercerita bahwa beliau hanya menenun untuk 5 meter kain stagen sebanyak 2 buah dan sebuahnya diupah lima ribu rupiah. Tapi itu hanya sambilan saja, karena bertani masih menjadi tumpuan hidupnya. 

Pun, kami berhenti sejenak di sebuah jembatan irigasi yang dipakai untuk pengairan di sawah-sawah sekitar. Selanjutnya, kami ditunjukkan gubug di pinggir jalan yang biasanya digunakan untuk rehat turis-turis saat bersepeda. 

Kami juga diajak melihat budidaya jamur tiram dan jamur merang. Sayangnya, tidak ada jamur bahagia. Eh. Pemberhentian selanjutnya adalah di tempat pembuatan ketupat yang seharinya bisa membuat seribu buah. Andai saja membuat ketupat mempunyai mitos seperti membuat paper cranes, mereka sudah punya apa saja yang mereka mau. Hehe. Masih ada juga pembuatan tempe dan tas dari daun pandan yang kita singgahi. Sungguh desa-desa multi-home-industry. 

Mas Towil ini memang “seseorang”, karena beliau yang memperkenalkan desa dan membawa banyak turis untuk mengenal desanya. Saya juga sebenarnya orang desa. Desa saya pun tak jauh beda dengan apa yang saya lihat tadi. Sawah luas, banyak orang yang memelihara hewan ternak dan digembala, masih ada rumah dari papan kayu, ada kanal pula, kali pun dekat. Bedanya, jalan di desa saya membuat orang ingat dengan penciptaNya karena setiap orang yang melalu, pasti istighfar. Bedanya lagi adalah di saya. Saya tidak pernah srawung aka bersosialisasi. Pulang kampung saja jarang. 

Hari semakin sore, kami bersepeda kembali menuju Mas Towil. Sambil mengayuh sepeda, Mas Towil menegur ibu-ibu yang sedang mencabuti gulma di sawah. Tak hanya sekali dua kali, setiap berpapasan dengan orang, Mas Towil selalu menyapa, atau setidaknya berkata permisi. Semua orang yang kami jumpai dan kami sapa, menyahut sapaan kami dengan suara yang riang. Damainya. Wahai.


P.S. beberapa foto personel lengkap, diambil oleh Mas Towil.

Jumat, 13 Februari 2015

Masa Orientasi di Jogja

Saya di Jogja
Akhir Januari saya akhirnya memutuskan untuk resign dari pekerjaan saya sebelumnya dan mengambil kesempatan lain. Awal Februari saya resmi mengadu nasib di Jogjakarta.

Satu bulan pertama saya rasa akan masih terasa menyenangkan karena masih dalam proses adaptasi dan orientasi di tempat yang baru. Tekanan pekerjaan belum terasa dan masih berkenalan dengan hiruk pikuk kota Jogja.

Setiap pagi saya melewati gang yang sama, jalan yang sama, melihat keramaian di simpang Tugu, tak jarang juga terjebak di antrean panjang lampu merah Pojok Beteng Wetan.

Suara lalu lalang kendaraan selalu terdengar dari lantai 2 kantorku. Bising. Tapi tak apa, toh pekerjaan belum terlalu menumpuk. Saya tak merasa terganggu. Di tiap satu jam menuju jam pulang kantor *ciye, kantoran ciye*, saya dan teman sekantor selalu sibuk memikirkan kemana akan makan. Naaah, I bet you all do this. Bukan hanya memikirkan, tapi mencari di internet. Kurang selo apalagi kami.

Mumpung pekerjaan belum banyak, seperti kata Pak Bos, satu bulan ini adalah bulan orientasi sebagai kesempatan mengeksplorasi dan mengenal potensi wisata kuliner kota Jogjakarta. Halah.

Saking selonya, hujan pun kadang kita terjang, selamat badan tak malas. He he. Untungnya, teman-teman selalu tak keberatan untuk sekedar berkendara mencari tempat makan sekaligus nongkrong yang sedang hits di kalangan anak muda kota Jogja demi check in di path atau upload menu makan malam di Instagram. Hazeiks.

Salah satu teman asli Jogja yang selama 22 taun hidup di Jogja pantas kami jadikan tour leader sekaligus tour guide untuk orientasi kota ini. Kehidupannya sebagai anak muda yang eksis dan gaul memang tak perlu dipertanyakan karena tak sedikit tempat nongkrong di Jogja dia khatamkan.

Mau makan apa? Dia siap membawamu. Dia memang super sekali, sesuper orang Jogja lainnya yang membuat tempat nongkrong di segala penjuru kota, bahkan di gang kecil perumahan padat penduduk ataupun tengah sawah yang jauh dari jalanan kota yang ramai. Dahsyat memang. Saya masih nggumun. It's already 2 weeks and still counting. Tak tau kapan akan selesai.

Sabtu, 31 Januari 2015

MesaStila, Eskapisme ke Masa Lalu (Part III)


Belajar tentang Kopi dan Beragam Aktivitas

Saya membaca lagi jadwal aktivitas harian yang bisa dilakukan saat menginap di resort, yang telah diberikan oleh Mbak Mega sebelumnya. Manajemennya sangat kreatif dengan menyusun itinerary harian yang berbeda dengan bermacam-macam kegiatan unik untuk mengisi waktu selama tinggal di resort. Program kegiatannya untuk menjaga kesehatan dan mempertahankan budaya dan kesenian lokal. Ada penyajian jamu, yoga, tour kopi, kelas menari, kelas gamelan, kelas membuat kerajinan dari janur, jungle gym dan lain-lain. Bebas pilih yang mana.

Waktu menunjukkan pukul 9 pagi. Karena belum semua orang berkumpul, saya menyempatkan berjalan-jalan di sekitaran main office. Kaki dan mata saya pun berpetualang di sekeliling gedung. Di bagian depan, terdapat kolam air mancur kecil yang dinamai wishing pond, yang dilingkari oleh bunga lili hujan warna putih. Sungguh cantik. Ada pula Labyrinth, bebatuan yang telah disusun sedemikian menyerupai jalur labirin untuk ritual refleksi kaki. Di Labyrinth itu juga terdapat gong yang entah apa fungsinya, mungkin untuk ditabuh saat memulai ritual berjalan di labirin batu itu. Di sudut gedung terdapat balai kuno berhias kelambu putih yang melambai-lambai tertiup angin pagi. Halaman belakang dibuat menjadi arena catur raksasa. Di sampingnya, ada kursi taman yang cocok untuk santai sore.


biji caturnya nih, segede bayi!

Kini Mbak Mega memegang kendali tour dan memulainya dengan menceritakan kepada kami tentang sejarah MesaStila. “Dulunya, MesaStila merupakan perkebunan kopi milik seorang Belanda yang rumahnya kini menjadi Club House ini” kata Mbak Mega seraya menunjuk pada main office. Tak jauh berbeda dengan villa-villanya yang dibawa langsung dari beberapa daerah yang khas dengan bangunan dan furniture jawanya, seperti Kudus. Siapa sangka gedung paling depan yang difungsikan sebagai lobi dan reception merupakan bekas stasiun Mayong yang diambil juga dari Jepara, tanpa mengubah desain.  Saya yang baru tahu hanya manggut-manggut keheranan. 

Mau beli tiket ke mana, Kak?
Saat kami melangkah menuruni tangga dan memasuki kebun kopi, kami melihat biji kopi yang masih kecil dan hijau. “Iya Mbak, sayangnya musim panen sudah berlalu, biasanya di bulan Juli-September di tiap tahunnya. Pada masa panen itu, pengunjung boleh ikut memetik biji kopinya”, tutur Mbak Mega. Hmm, tapi sepertinya lebih lumayan untuk kerja serabutan. Dari 22 hektar luas MesaStila, separuhnya digunakan untuk kebun kopi, separuhnya lagi untuk fasilitas resort yang lain. Pantas saja staff-staff di sini terlihat ramping mempesona. Setiap hari jalan mengitari 11-22 hektar. Meeeeeeeeen!


Terdapat empat jenis kopi yang ditanam di kebun. Ada Robusta, Arabika, Ekselsa dan Andong (Jawa). Dari keempat jenis kopi tersebut, robustalah yang mendominasi perkebunan karena paling produktif, namun penanamannya banyak diokulasikan dengan Arabika. Sambil berjalan, Mbak Mega lantas memetik beberapa daun kopi untuk menjelaskan perbedaannya berdasarkan morfologi daunnya. Jenis kopi bisa dikenali berdasarkan lebar daun. Kalau saya tidak lupa, urutan jenis kopi dari daun yang paling kecil adalah Exelsa, Robusta, Arabika dan Andong (Jawa). TKKSK (tolong koreksi kalau saya keliru) ya. Cc: Mbak Mega.

ini lho yang namanya Mbak Mega
Jangan dikira 11 hektar hanya ditumbuhi kopi saja. Masih ada pohon durian, tanaman kecombrang, pohon randu, buah pepaya, alpukat, nanas, dan yang paling saya suka, pete. Semuanya organik. Kami melewati kandang kambing yang kotorannya diolah menjadi kompos. Jadi, makanan di restoran dapat diketahui berasal dari mana. Hehe. Ga semua juga kali ya.

Perjalanan berhenti saat kami sampai pada sebuah pondok kayu di mana proses pengolahan biji kopi dilakukan. Ada mesin pengering biji kopi yang masih menggunakan bahan bakar kayu. Di luar pondok, terdapat lahan untuk penjemurannya. Untuk menjadikannya menjadi kopi bubuk, alat gilingnya masih tradisional pula. Pengunjung boleh memutar tuas penggilingnya lho. Bebas.
gilingan cyin!

Tak hanya itu, saat istirahat setelah mengelilingi kebun kopi, kami mendapat suguhan biji kopi. *berubah jadi luwak*. Biji kopinya dihidangkan dengan gula jawa yang dimakan secara bersamaan. Rasanya seperti kopi. Luar biasa. Lebih tepatnya seperti permen kopi. Dan sebenarnya, membuat ketagihan. Sambil berbincang, senda gurau, kami menikmati pemandangan pepohonan yang sedang diguyur hujan dari pondok kopi.
Icip-icip kopi bakar
gelas dan pengaduknya, dong!

Sebenarnya kami masih akan diajak melihat kebun sayur dan buah, dan melewati kandang kuda. Namun sayang, hujan sepertinya tidak akan mereda dalam waktu singkat. Kami memilih kembali ke villa. Sementara rombongan Mbak Ani rapat, saya menikmati siang yang hujan di kamar. Dingin nan syahdu.

Sekian.