Sawah menghijau terhampar luas berlatarbelakangkan gunung
Merapi dan Merbabu, rombongan biri-biri sedang digembala seorang lelaki tua,
beberapa burung blekok hinggap di pematang sawah dan kami berkendara sambil
menikmati pemandangan ala desa tersebut menuju salah satu desa di Sentolo,
Kulon Progo.
Sesampainya di tempat yang kami tuju, kami disambut lelaki
berambut gondrong dengan senyum sumringah. Sebut saja Mas Towil. Tak ada basa
basi yang lama, Mas Towil langsung mempersilakan kami untuk memilih sepeda
onthel yang kami mau. Yap. Kami akan berkeliling desa dengan sepeda onthel
klasik.
Sudah lama sekali saya tidak menggenjot pedal sepeda tua
seperti ini. Terakhir waktu saya masih ngelap ingus di bangku SD. Beneran. Saya
belajar nunggang sepeda onta milik bapak saya. Kini sepeda itu entah di mana,
bisa jadi sudah menjadi milik Mas Towil ini atau justru barangkali yang saya
naiki ini. Hmmm… Tuhan yang tahu.
Sebelumnya, Mas Towil sudah memberi gambaran tentang wisata
desa yang akan dia pandu. Jika kami beruntung, kami akan bertemu dengan
orang-orang dengan mata pencaharian yang bermacam-macam. Nanti juga akan
disinggahi. Jika beruntung lho.
Kami mengayuh sepeda keluar dari rumah Mas Towil menyusuri
jalan kampung. Tak terlalu mulus sih, hanya saja rindang karena masih banyak
pepohonan di sekitar rumah. Beberapa kali kami melewati jalan yang dilalui rel
kereta api. Jika sedang membawa turis dan kebetulan akan ada kereta api yang
lewat, mereka akan berhenti sejenak dan Mas Towil bercerita tentang rel yang dibuat
pada masa kolonial Belanda.
Perjalanan berlanjut dengan bersepeda di tepian kanal. Jalan
yang dilalui adalah jalan setapak yang terlihat becek sehabis hujan. Belum lagi
banyak kambing yang sedang main gundu di sekitaran pinggir kanal. Makin sempit
jalannya. Saya kan jadi jiper. Saya takut kalau tiba-tiba ban sepeda saya iseng
lari ke kanal.
Akhirnya Mas Towil berhenti dan mengajak kami mampir ke
sebuah rumah. Duduk di teras seorang nenek yang sudah sangat sepuh. Melihat Mas
Towil, beliau langsung memeluk erat seolah-olah Mas Towil adalah Bang Toyib.
Beliau adalah Mbah Semi. Seperti namanya, Mbah Semi ini, terus bersemi walaupun
usianya sudah berkepala tujuh. Beliau adalah seorang pengrajin/penenun semacam
tikar, tapi bukan tikar yang terbuat dari semacam daun pandan kering. Ah, saya
lupa namanya. Maaf. Mbah Semi adalah seorang yang ramah, tertawanya pun renyah.
Pokoknya menyenangkan.
Makin jauh sepeda kami kayuh dan melewati persawahan lagi,
kami mampir di rumah, sebut saja (lagi) Bu Sari. Beliau menenun stagen.
Ngomong-ngomong tentang stagen, saya langsung melihat perut, soalnya, stagen
itu kain panjang buat ngurusin perut itu lho. Sambil mencomot utri yang ada di
meja makan, (ketela parut yang dikukus dan di tengahnya ada gula jawa) -karena
sudah dipersilakan- saya mendengarkan Bu Sari bercerita bahwa beliau hanya
menenun untuk 5 meter kain stagen sebanyak 2 buah dan sebuahnya diupah lima
ribu rupiah. Tapi itu hanya sambilan saja, karena bertani masih menjadi tumpuan
hidupnya.
Pun, kami berhenti sejenak di sebuah jembatan irigasi yang
dipakai untuk pengairan di sawah-sawah sekitar. Selanjutnya, kami ditunjukkan
gubug di pinggir jalan yang biasanya digunakan untuk rehat turis-turis saat
bersepeda.
Kami juga diajak melihat
budidaya jamur tiram dan jamur merang. Sayangnya, tidak ada jamur bahagia. Eh.
Pemberhentian selanjutnya adalah di tempat pembuatan ketupat yang seharinya
bisa membuat seribu buah. Andai saja membuat ketupat mempunyai mitos seperti membuat
paper cranes, mereka sudah punya apa saja yang mereka mau. Hehe. Masih ada juga
pembuatan tempe dan tas dari daun pandan yang kita singgahi. Sungguh desa-desa
multi-home-industry.
Mas Towil ini memang “seseorang”, karena beliau yang
memperkenalkan desa dan membawa banyak turis untuk mengenal desanya. Saya juga
sebenarnya orang desa. Desa saya pun tak jauh beda dengan apa yang saya lihat
tadi. Sawah luas, banyak orang yang memelihara hewan ternak dan digembala,
masih ada rumah dari papan kayu, ada kanal pula, kali pun dekat. Bedanya, jalan
di desa saya membuat orang ingat dengan penciptaNya karena setiap orang yang
melalu, pasti istighfar. Bedanya lagi adalah di saya. Saya tidak pernah srawung
aka bersosialisasi. Pulang kampung saja jarang.
Hari semakin sore, kami bersepeda kembali menuju Mas Towil.
Sambil mengayuh sepeda, Mas Towil menegur ibu-ibu yang sedang mencabuti gulma
di sawah. Tak hanya sekali dua kali, setiap berpapasan dengan orang, Mas Towil
selalu menyapa, atau setidaknya berkata permisi. Semua orang yang kami jumpai
dan kami sapa, menyahut sapaan kami dengan suara yang riang. Damainya. Wahai.
P.S. beberapa foto personel lengkap, diambil oleh Mas Towil.