Mungkin hanya orang bodoh yang
bersedia keliling kota yang luas dan panas dengan berjalan kaki seharian penuh.
Dan mungkin kami bodoh.
Pukul 10.00 pagi di kota Bangkok.
Pagi yang terlalu siang untuk berjalan kaki berkeliling kota Bangkok. Setelah mandi,
sarapan dengan indomie yang kami niati bawa dari Indonesia dan sedikit touch up, saya dan 3 orang kawan ―selanjutnya disebut
Yusuf, Reza dan Erwin―
melihat peta wisata, berdiskusi, dan memutuskan untuk mengunjungi kuil-kuil
dengan naik kapal menyusuri sungai Chao Phraya sebelumnya.
Kami tiba di port Central Pier untuk naik kapal menuju kawasan kuil. Guide menjelaskan apa yang terlihat di
tepi kanan dan kiri sungai, namun entah karena angin kencang, sound microphone yang kurang keras atau telinga
sayalah yang terganggu, saya tidak bisa mendengar apa yang dikatakan. Saya
yakin usaha wisatawan lain untuk mendengar guide
berbicara juga nihil. Mereka terlihat memicingkan mata dan berusaha fokus, tapi
lalu sibuk dengan kamera masing-masing. Dari sekian banyak bangunan yang
unik, yang saya kenali hanyalah Wat Arun, kuil di sebelah barat Chao Phraya.
|
Tongue-twister name #1, Wat Arunratchawararam Ratchaworamahavihara |
Kami
turun di port yang hanya 200 meter
dari kuil Wat Po yang terkenal dengan Buddha raksasa yang sedang tiduran. Hanya
Yusuf yang masuk. Karena sisanya, walau sebenarnya ingin, tapi memegang teguh
komitmen dari awal bahwa tidak akan masuk ke obyek wisata yang tidak free entrance. Irit dan komit memang
sulit dibedakan.
|
Tongue-twister name #2
Wat Phra Chettuphon Wimon Mangkhlaram Ratchaworamahawihan
(Wat Po) |
Kami membunuh kebosanan dengan melakukan
kebodohan goyang bang jali dan goyang cesar. Saat itu kami tidak sadar bahwa
pos satpam ada di seberang di mana kita bergoyang dan cctv di mana-mana. Berbarengan
dengan Yusuf keluar, kita cukupkan sedikit malu itu dan melanjutkan perjalanan.
#abaikanparagrafini
Kami tiba di kawasan Wat Phra
Kaeo atau Grand Palace. Terik matahari memaksa kami menyerah penuh peluh. Bekal
air mineral habis dan kami berhenti pada kios swalayan di antara kios souvenir yang berjejer. Saya, Erwin, dan
Reza bergegas masuk membeli air. Glek! Suara air mineral kami telan membasahi
kerongkongan kami yang kering. Dan, glek! Di saat itulah kami tidak menemukan
Yusuf. Padahal perjalanan masih panjang. Kami celingak – celinguk kanan kiri.
Tak kami temukan sosok Yusuf.
|
Tongue-twister name #3 Wat Phra Sri Rattana Satsadaram |
Kami putuskan untuk masuk kuil, lebih
tepatnya halaman kuil, dahulu hanya untuk sedikit berpose sembari mencari Yusuf.
Saat kami keluar, Yusuf tak jua terlihat. Kami berpikir dua kali untuk
menghubungi Yusuf melalui sms karena tarifnya yang beratus kali lipat. Sungguh
keyakinan kami bahwa insting survival
Yusuf sangat tinggi, maka kami berinisiatif untuk melanjutkan perjalanan tanpa
dia.
“Kita di sini” kata Reza sambil
menunjuk peta wisata. Ya, kami berada di taman depan kuil. Ada kolam bundar
dengan air mancur di tengahnya. Ratusan burung dara jinak berjalan dan beterbangan
di sekitarnya. Taman ini bersih dari sampah, tapi banyak bercak kotoran burung.
Di samping taman ini, terdapat lapangan luas dikelilingi trotoar yang lebar.
Kanan dan kiri trotoar ditanami pohon dan dipasangi kursi taman. Saya bayangkan
kesyahduannya saat menjelang senja. Hmmm…
|
Mau kasih makan burung harus bayar |
|
bikin pengen maen gobak sodor nih! |
Khaosan sepertinya hanya berjarak
kurang lebih 1-2 km dari taman ini. Berjalan sambil ngobrol membuat perjalanan
tidak (belum) terlalu terasa melelahkan. Menurut saya, Khaosan ini adalah
Malioboro-nya Thailand. Tapi lebih dari Malioboro, di sini semua hal bisa
menjadi barang komoditas, dari pakaian, bikini, tas, sandal, souvenir, makanan,
bir, jasa pembuatan tattoo dan bahkan ID
card palsu pun ada. Ini sangar!
Democracy Monument, landmark
utama di titik nol Thailand pun kami lewati, sambil sesekali berhenti membeli
makanan ringan [baca: babi bakar, tapi saya tidak] di pinggir jalan.
|
but first, lemme take a selfie! |
Salah
satu ruas jalan yang beberapa bulan lalu sempat dijadikan lokasi untuk unjuk
rasa masih tampak lengang. Hanya terlihat seorang kakek asyik bersepeda dan
seorang pemuda ber-skateboard ria di
antara bekas mobil terbakar dan tumpukan ban mobil. Kami juga masih melihat
sisa unjuk rasa. Dua ruas jalan masih diblok, didirikan semacam tenda, dan
terdapat pula toilet temporer. Saat kami melewatinya, ada seorang yang sedang
pidato di mimbar. Sayang sekali kami tidak mengerti bahasa Thai dan tidak ada subtitle di jalan. #yakali
|
pasca demonstrasi, aman! |
Semakin menjauh dari titik nol,
kami memutuskan untuk melanjutkan berjalan kaki menuju stasiun BTS terdekat,
Ratchadewi. Ya, kami tidak kembali naik kapal atau mencoba naik bus yang
rutenya tertulis dalam tulisan Thai. Bersenjatakan peta wisata, kami susuri jalan
hingga berganti sandal baru karena tali sandal lama saya putus. Beberapa kali
kami berhenti dan beristirahat di depan toko yang tutup dan berjalan lagi.
Melewati jembatan, kami lihat ada
pasar tradisional sepanjang jalan raya. Ha! Saatnya makan. Saya membeli somtam/yam mamuang (cmiiw) rujak buah
mangga dan papaya a la Thailand yang
pedas, asem, asin, dan manis dan dicampur dengan ikan teri krispi. Sedangkan
dua lelaki ini memilih makan soup, Luden
soup yang isinya ada sapi, babi, udang, ayam dan lain-lain. Di bagian pasar
yang lain, saya melihat kerupuk sebesar wajan yang belakangan saya ketahui dari
google adalah bernama Khao Kriap Waue dan
terbuat dari ketan. Sebagai penggemar kerupuk, saya merasa berkewajiban untuk
membelinya. Berbekal sapaan “swadee ka”
dan berakhir “kob kun ka”, ―walaupun selanjutnya saya
tak mengerti bahasa Thai dan ibu penjual tak mengerti bahasa Inggris, tapi
dengan bahasa isyarat berhias senyuman―,
komunikasi berjalan lancar. Sedangkan Erwin sebagai penggemar babi, merasa
berada di surga kuliner babi.
|
rujak enak |
|
Luden soup |
|
aneka bentuk babi |
Sepanjang perjalanan, kami masih
menenteng kerupuk wajan dan memakannya sedikit sedikit. Sepertinya ini menarik
perhatian orang yang melewati kami karena melihat kami dengan pandangan yang
agak aneh. Ya, dari pengendara motor, penumpang bus, hingga polisi lalu lintas.
Mungkin ada yang salah dengan kerupuknya, tapi biarlah. (Paragraf ini boleh
diabaikan lagi)
|
Gak fokus ke Khao Kriap Waue nih! |
Terlihat dari peta, stasiun BTS
Ratchadewi tidak lagi jauh, hanya beberapa belokan. Kami perkirakan 1 km.
Meleset! Kami berjalan hampir 2 km. Di jalan kami lihat banyak penjual mango sticky rice aka mangga ketan. Reza
yang tak tahan hanya melihatnya, akhirnya membeli untuk dimakan nanti.
Siang menuju petang. Badan makin
lusuh, muka makin kuyu. Betapa bahagia saat kami lihat tanda BTS dari kejauhan.
Akhirnya penderitaan kaki kami segera berakhir. Seakan tidak kapok, saat naik
BTS, bukannya kami pulang, tapi menuju stasiun BTS terjauh, Bangwa. Kami turun
ke jalan di Bangwa. Tidak terlihat apapun yang menarik, kecuali beberapa gedung
yang masih dalam proses pembangunan. Sepi, karena memang bukan kawasan wisata. Sambil
makan mangga, dan memberi jeda untuk otot kaki, dua lelaki ini justru
menggoda mbak-mbak yang sedang pulang kerja. Kami lebih mirip berandal gelandangan
daripada turis. Mungkin kami lelah.
Saat itu, waktu masih menunjukkan
pukul 7 malam. Mall masih buka dan jalur BTS pulang melewatinya. Sip! Kami
masuk mall dan membeli beberapa potong kaos untuk oleh-oleh dengan penampilan
tidak karuan. Beruntung, tidak disangka pengemis dan diusir. Huft.
Sesampainya di hotel, surga
seolah berbentuk sebuah kasur. Kami memang lelah. Mendapat wifi, Reza iseng men-tracking
rute jalan kaki siang tadi dengan google
maps. Voila! Kami telah menempuh
jarak lebih dari 8 km, belum termasuk menyeberang melalui jembatan
penyeberangan yang panjang. Kami perkirakan total 10 km. Saya dan Erwin saling
berpandangan dan mlongo lalu tertawa. Saya baru menyadari bahwa peta wisata
yang kami bawa adalah tanpa skala. Bodoh!
Stupid decision makes stories, doesn’t it? Entah disengaja atau
tidak, tidak ada salahnya untuk berpikir bodoh, karena justru itulah yang akan
membuat kita bisa menertawai kebodohan kita sendiri dan belajar. Hehe.