“Not all who wander are lost”. Kutipan dari J.R.R. Toelkien,
penulis The Lord of The Ring, yang sering saya dengarkan dan saya baca ini
tiba-tiba terngiang-ngiang di telinga begitu perjalanan saya waktu itu di
Kinabalu seolah tak berujung. Saya tepuk jidat. Kalimat itu seolah tak berlaku
untuk saya saat itu. Saya benar-benar tersesat di negeri orang. Sungguh, tidak
ada kesengajaan dari saya untuk menyesatkan diri, terlebih di tempat yang
asing.
Kota Kinabalu, 27 Januari 2013
Riuh rendah di luar hostel pukul 5 pagi membangunkan saya.
Hari masih gelap, sinar matahari belum memaksa menerobos melalui kisi-kisi jendela.
Saya sedikit menyibak gorden jendela, mengintip, penjual di Kota Kinabalu (KK) mulai membuka
dan menata lapak jualan mereka. Ada pasar Minggu. Saya dan dua travel mate bergegas
berkemas dan check out, berjalan melalui hiruk pikuk pasar menuju pangkalan bus
untuk menuju kawasan Gunung Kinabalu di Kundasang.
|
bus menuju Pasar Kundasang |
Seat di minibus sudah didapat, kami duduk manis sambil
menikmati pemandangan bukit dan lembah sepanjang perjalanan dari KK menuju
Kundasang selama dua jam. Kami turun di Pekan (pasar) Kundasang. Berbekal peta dari
google, saatnya kami mencari hotel Seri Kinabalu Resort yang sudah dipesan
melalui website.
|
Sekitar Pekan Kundasang |
Tak perlu naik kendaraan umum lagi, karena letaknya di peta
hanya sekitar satu kilometer ke arah barat dari Pekan Kundasang. “Ah, itu kecil
buat kita”, pikir kami. Satu kilometer dari pasar sudah tertempuh. Seharusnya
hotel sudah dekat, tapi tak nampak sedikitpun tanda-tanda adanya hotel. Tidak. Dua
kilometer. Kami tanya penduduk yang terlihat di sekitar, tak ada yang tahu
hotel tersebut. “Lho, masak google salah sih?” kami mulai meragukan keberadaan
hotel dan google.
|
Km 1 |
|
Km 2 yang katanya mirip Swiss, iya ga sih? |
Kami berjalan kaki di jalanan yang menanjak, matahari
semakin menantang di atas kepala dan begitu menyengat, udara kian panas hingga
kami harus melepas jaket yang menempel di badan sedari berangkat tadi. Cukup aneh memang, karena Kundasang merupakan kawasan pegunungan, tapi temperatur tinggi. Sepertinya
sudah tiga kilometer. Kami tersesat.
Perjalanan yang semula kami nikmati, kini mulai kami keluhi.
Tak banyak lalu lalang kendaraan. Tapi kami coba acungkan jempol pada setiap mobil yang melewati, tak satupun
berhenti dan memberikan tumpangan. Keringat mulai benar-benar membasahi
kaos, seperti orang habis tersiram air. Berkali-kali kami mengelap dahi yang berpeluh. Tak ada tempat teduh, kanan kiri rumput gajah. Haus, namun bekal air
minum tersisa sedikit. Aduh, sial!
Di ujung tikungan, ada sebuah bangunan kecil. Kami putuskan untuk beristirahat sejenak di situ. Warung! Syukurlah, batin saya. Yes, makan! Energi kami mulai menipis. Sambil melahap mie instan layaknya gelandangan, kami ngobrol dengan penjaga warung yang juga sekaligus petani kubis. Kami juga ditemani seorang laki-laki, sebut saja Mas Bambang, yang ternyata orang Magetan. Jauh-jauh hingga ke Kinabalu, ketemu orang Jawa. Kami menyimaknya berkisah tentang perantauannya yang berat.
|
A meal and a view |
Hingga akhirnya penat telah luruh, giliran kami bercerita
tentang ketersesatan kami. Mas Bambang lalu menelpon temannya untuk meminta
tolong mengantar kami. Sambil menunggu dan meneruskan bercengkerama di tepian
jalan, kami memandangi jalan yang telah kami lewati. “Seperti di Swiss!” kata
dua teman saya yang pernah berkelana ke Eropa. Rumput gajah di kanan kiri jalan
yang tanpa pepohonan terlihat bak padang yang membentang. Indah. “Wow!”
saya hanya mampu berseru.
|
Km 3, kilometer terakhir saat kami menyerah. |
|
Di kala menunggu |
Akhirnya, teman Mas Bambang datang, kami pun segera
berpamitan, berterima kasih terhadap bantuannya dan masuk ke mobil untuk
diantar kembali ke Pekan Kundasang dan mencari petunjuk di mana keberadaan
hotel yang misterius tadi. Walaupun teman Mas Bambang pun tak pernah mendengar
hotel yang kita tuju, tapi dia bersedia mengantar kami bertanya sana-sini. Dan,
akhirnya, kami mendapat jawaban. Lalu dimana? Entah siapa yang memasang gambar
hotel di google diletakkan di arah barat Pekan Kundasang. Itu salah!
Menjerumuskan! Letaknya satu kilo di arah utara Pekan Kundasang. Ah! Kami
sempat memaki-maki sendiri, tapi tak tahu siapa yang harus dimaki, entah
manajemen hotel, entah google, entah staff IT hotel atau staff website reservasi itu.
Tiba kami di pekan, kami bertanya ongkos, ternyata sudah
dibayar oleh Mas Bambang. Kami semakin merasa berhutang padanya. Dan
sesungguhnya ketersesatan kami tidaklah buruk. Kami justru diminta untuk
melihat pemandangan menakjubkan dan bertemu saudara dari Jawa.
Saat tiba di hotel, walaupun penampakan dan fasilitasnya jauh dari ekspektasi, tapi sekitarnyalah yang memanjakan mata kami.
|
The hotel. Dinding penuh kotoran kelelawar dan kurang terawat dan tertata. |
Yet, getting
lost is not always bad, dude! See these!!
|
Puncak Gn. Kinabalu dilihat dari belakang hotel |
|
Puncak Gn. Kinabalu dilihat dari samping kanan hotel
|
|
The taken care beauty |