mother and daughter |
Hari ini semua orang mengucapkan
Selamat Hari Ibu di medsos, tak terkecuali saya. Entah di kehidupan nyata
mereka benar-benar mengucapkannya kepada ibu mereka atau tidak. Aku sih no.
Seingat saya, saya hanya dua kali
mengucapkan hari ibu. Saya tidak ingat kapan pertama kali saya mengucapkannya. Dua
puluh dua Desember waktu itu, saya sedang berada di rumah dan bertepatan dengan
hari libur. Ibu saya sedang tidak mengajar. Pagi itu, kami menghabiskan waktu
berdua di depan tv menonton acara sampah dan gossip. Such a quality time.
Gossip pagi itu menampilkan seorang
selebriti yang sedang memeluk ibunya, mengucapkan selamat hari ibu, lalu
menciumnya. Bak sedang nonton film biru, saya merasa malu dan canggung dengan
ibu saya yang duduk di samping saya. Pasalnya, setelah hampir seperempat abad (ini beberapa tahun lalu ya) ibu saya membesarkan saya, belum pernah sekalipun
saya memberi ucapan serupa selebriti itu. Pun ada rasa malu karena selama itu,
saya belum bisa membanggakan/membahagiakan beliau.
Jadi seketika tayangan itu
berakhir, terjadilah momen awkward. Saya
akhirnya mengucapkannya seraya mencium tangan beliau.
Dua puluh satu Desember, dua taun
yang lalu, saya mendapat surel dari institusi beasiswa yang saya daftar
sebelumnya, mengumumkan kelolosan wawancara beasiswa saya. Benar-benar momen ini
masih membekas di hati saya yang paling dalam. Saya sungguh senang bahwa
selangkah lagi saya akan bersekolah di luar negeri. Keesokan harinya, pukul delapan
pagi, saya telepon ibu saya yang sedang berada di desa, dengan nada riang, saya
mengucapkan selamat hari ibu dan mengabarkan berita bagus di hari yang dispesialkan
itu. Entah bagaimana perasaan beliau saat itu. Saya hanya yakin bahwa
setidaknya dengan saya bisa bersekolah di luar negeri akan membuat ibu saya
bangga di depan rekan-rekannya. Siapa sih yang tidak senang dapat kesempatan emas
seperti itu, apalagi wong ndeso
seperti saya ini. Walaupun harapan itu akhirnya pupus. Saya gagal. Sepertinya karena
sudah ada niat riya. Huvt.
Hari ini, saya hanya berkicau di
twitter. Masih canggung dan malu. Lagi. Bahkan kepada ibu saya sendiri.
Sebenarnya dari dulu, di desa saya
pada umumnya, dan keluarga saya pada khususnya, tidak terbiasa dan dibiasakan
untuk memberi ucapan selamat. Kami sebenarnya ingin melakukannya atas nama kebahagiaan
dan perhatian, hanya saja kami tidak terbiasa. Jadi kalau ada yang melakukannya
mungkin akan terdengar aneh. Di desa saya lho ya. Saya tidak tahu dengan desa
yang lain.
Kebahagian dan perhatian itu
justru lebih ditunjukkan dengan perayaannya, seperti selametan dengan doa-doa
dan makanan untuk bersama. Pun, hal seperti itu biasa untuk kelahiran dan
kematian saja, sesuai kalender jawa pula. Untuk memperingati sesuatu berdasarkan
kalender masehi sangat jarang, terlebih dengan hari-hari yang ditetapkan dalam
skala nasional maupun internasional. #hasyah
Ucapan selamat yang sering saya
dengar di kampung adalah “sugeng riyadi” di Hari Raya Idulfitri. Ya, cuma itu
saja. Akan tetapi, bagaimanapun juga, walau tanpa ucapan itu pun, ibu saya (pada
khususnya), yakin kalau saya menyayangi dan menghormati beliau. Pun dengan kata
“sayang” ini, saya merasa lebay atau hmmm… ‘gay’ :p
Bahasa Jawa punya istilah sayang
apa tidak sih, karena sepertinya “tresna”
itu tidak tepat sasaran dan tepat guna dalam konteks seperti ini.
Hari ini, saya tidak memberi
ucapan kepada beliau. Juga tidak ada kabar bahagia yang patut saya kabarkan
untuk membahagiakan beliau. Mungkin ibu saya berdoa agar calon mantunya cepat
datang ke rumah. Lah, sama buk. #hyakdesh *lalu pencak silat*.
*sungkem ibuk*